Senin, 25 Mei 2015

Pada Akhirnya, Ia Hanya Berpegangan pada Waktu






Matematika, Fisika, Kimia, ketiga PR dari pelajaran ini baru saja kuselesaikan. Kalian tak pernah berpikir kalau aku ini sudah dewasa, kan? Aku adalah seorang pelajar SMA kelas dua yang masih berusia enam belas tahun. Tidak seperti anak pada umumnya, setiap hari Minggu aku malah lebih sering mengerjakan tugas-tugas sekolah daripada bermain di luar. Alasannya adalah karena tak banyak yang kusukai di luar sana. Aku bahkan sama sekali tak menyukai olahraga, karenanya aku tak bisa memainkan olahraga apa pun. Entah apa gunanya kegiatan semacam olahraga itu diciptakan. Sungguh membuang-buang tenaga dan waktu bersantai.

Aku baru saja hendak merapikan buku-bukuku di atas meja belajarku. Sedikit kubenturkan di atas meja untuk sekedar merapikannya. Lalu telingaku menangkap sebuah deritan pada kenop pintu kamarku. Kenop berputar diikuti dengan gerak pintu yang membuka. Dari balik pintu itu, menyembul sesosok wajah yang baru-baru ini menemuiku. Buku-buku yang masih di tanganku itu pun meluncur indah dari genggamanku dengan efek slow motion seiring dengan perubahan raut wajahku. Lepi. Ia muncul berbinar-binar.

Dia masuk tanpa memedulikan aku yang sebenarnya tak suka atas kedatangannya ke kamarku. Dia bahkan tega mengabaikan efek slow motion yang terjadi padaku saat aku melihatnya. Padahal seharusnya, setelah ini aku ingin memainkan kekasihku – game Valkyrie Prifile 2: Silmeria – yang sedang menjalankan misi di Seraphic Gate. Lenneth, Silmeria, dan Alice pasti kecewa kalau aku tak sempat memainkan mereka hari ini.

“Apa lagi sekarang? Kau ini nggak pernah bosan membuat orang lain kerepotan?” tanyaku ketus.

“Nggak, nggak, saat ini aku hanya ingin berbagi kisahku padamu, Ranka,” jawabnya berbunga-bunga.

“Kisah apa? Kisah perjuanganmu melawan kematian namun akhirnya mati juga secara mengenaskan walau sekeras apa pun usahamu untuk berjuang. Kapan itu terjadi? Aku tak sabar menantikannya.”

“Bukan, bukan. Ini kisah bahagia sekaligus penantianku. Kau pasti senang mendengarnya.”
“Hahaha, kau bercanda, Kisanak? Kau cuma hidup sehat tanpa melakukan apa pun saja udah bikin orang sakit hati. Malah kau ingin cerita. Pergi!”

“Ayolah, Ranka. Kau tak perlu malu-malu.” Ia menarik lenganku dengan paksa untuk mengajakku duduk di atas kasurku. Cengkeraman tangannya barusan menyisakan jejak kemerahan di pergelangan tanganku. Ini pertanda ia akan menghabisiku kalau aku tak menuruti permintaannya. Aku tak ingin dengar. Sungguh.

“Begini, ini tentang masalahku kemarin. Aku ingin melanjutkannya.”

Sumpah, aku sama sekali tak ingin tahu. Kemudian Lepi mulai bercerita.

POV Lepi

Kisah ini di mulai saat awal musim semi lalu. Tinas-tunas berdaun hijau muda bergoyang saat angin mengajaknya menari.

Musim semi di bagian mana? Kau yakin sudah memasang otakmu dengan benar?

Suatu hari aku bertemu dengan seorang gadis di sebuah kafe. Sorot matanya tajam, indah, dengan rambut panjang hitam bergelombang. Aku sudah mulai suka saat pandangan pertama. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya hanya untuk sekedar mengamatinya. Namun saat ia berbalik menatapku, aku segera mengalihkan pandangan ke arah lain. Sebenarnya aku masih ingin memendam rasa ini. Hingga akhirnya aku menyerah. Aku tak bisa berbohong bahwa dia selalu mengambil alih pikiranku. Kuputuskan untuk meminta pin bbmnya pada temannya yang sekaligus juga temanku.

Hah? Perkenalan yang klise. Terlalu biasa. Sudah sering di mana-mana. Akan lebih keren bila kau pertama kali bertemu dengannya di area pemakaman umum. Lalu meminta pin bbmnya pada penjaga kuburan yang ada di situ. Kemudian minta comblangin sama tukang gali kubur setempat. Pasti kau akan segera mendapatkan hati gebetanmu itu dan bonus papan nisan cantik berhologram.

Begitulah, kami memulai kedekatan kami melalui sosial media. Detik demi menit, jam demi hari, kami selalu mengisi ulang paket kami tepat waktu agar tak terputus jalinan yang baru saja kami bentuk. Sikapnya tak begitu peduli dan mengabaikanku memang menjadi tantangan terberatku. Berulang kali juga ada bisikan-bisikan halus yang menyuruhku untuk mundur dan menyerah. Hanya saja, kepedulianku terhadapnya seperti membuahkan hasil. Ia mulai peduli padaku.

Namanya Anna.

Suatu ketika, aku dan temannya mengatur sebuah rencana untuk mempererat hubungan tanpa sepengetahuan dia. Dalam sebuah kafe di pinggir jalan, ia terkejut saat ia tahu aku tiba-tiba muncul dan duduk di dekatnya. Suasana pun masih canggung. Smartphone di tangan jadi pelampiasan untuk menghilangkan kecanggungan di antara kami berdua. Aku sedikit tersentak saat tiba-tiba suara beningnya itu terlontar dari bibirnya. Beberapa hal dipertanyakannya. Lambat laun obrolan mengalir menjadi hangat. Sedikitnya aku merasa menyesal. Sebagai seorang laki-laki, seharusnya aku lah yang berusaha mencairkan suasana. Bukan dia.

Lagi-lagi di kafe? Ttakuh! Dasar bocah. Tak punya inisiatif dan ide brilliant. Kalau aku jadi kau, aku akan mengatur tempat pertemuan di sebuah tempat di luar ruangan di bawah malam berbintang. Hanya ada satu meja dan dua kursi berhadapan untuk aku dan dia. Di tengah meja terdapat lampu-lampu hias kecil berbentuk tengkorak. Aku akan mengenakan jas dan menyuruhnya mengenakan baju gamis. Dan saat makanan tersaji, serta obrolan yang semakin romantis. Hujan deras turun.

Tanpa sepengetahuanku, ia berbicara dengan temannya perihal tentangku. Sepertinya ia mulai tertarik dan mencari tahu tentangku. Ini suatu kemajuan yang pesat. Kedekatan kami semakin bertambah. Kami semakin terasa akrab. Banyak hal yang tak penting yang kami bicarakan tapi tetap terasa manis. Hingga suatu kali aku mengajaknya untuk melakukan photo session di sebuah studio foto. Anna setuju walau ia sedikit malu. Ini adalah saat-saat indahku dengannya. Kami bukan lagi seperti dua orang yang sedang kasmaran. Malah lebih tepat disebut dua orang yang akan segera menuju ke pelaminan.

Haha ... foto-foto di studio? Mau perpanjang KTP? Sejujurnya aku rada kesal mendengar ceritanya di bagian ini. Aku berharap remote pemutar dvd dengan tombol fast forward-nya bisa berfungsi pada manusia. Agar Lepi bisa segera menyelesaikan ceritanya secepat kentut meraba hidung.

Selang seminggu kemudian, aku mengajaknya dinner berdua. Sipit – begitu aku memanggilnya – jauh lebih asyik saat ditemui secara langsung daripada hanya sekedar chating lewat sosmed. Kesan cueknya itu masih sering kurasakan. Tekadku yang masih maju-mundur untuk mempertahankannya selalu datang bergantian. Aku tak ingin perjuanganku ini berakhir sia-sia. Pada akhirnya, rasa yang selama ini kupendam kuungkapkan juga.

Ow, aku semakin mengantuk.

Anna memang tak menjawab pengakuanku secara jelas. Akan tetapi, masih ada harapan yang tersembunyi di balik semua perkataannya. Aku masih ingin memperjuangkan rasa ini. Mungkin kedengarannya bodoh ya? Perasaan ini tak mungkin kubiarkan lepas begitu mudahnya. Aku masih ingin terus merasakan perasaan hangat yang mengalir ini di setiap denyut dan aliran darahku. Meski kami belum sepenuhnya bersatu,  bersama waktu, aku akan terus mengikis bendungan yang masih menutup relung hatinya.

Wah, heroik sekali. Persis seperti film yang kemarin kutonton. Judulnya kupinang kau dengan sirup Marjan. Tiba-tiba aku teringat kalau sebentar lagi puasa. Sepertinya aku harus meminta uang saku tambahan dari Ibu demi membeli buku yang berkaitan tentang agama. Aku rada penasaran dengan buku Sejarah Tuhan oleh Karen Armstrong dan The Templar Revelation.

“Jadi gimana ceritaku? Cukup mengharukan, kan? Belum lagi kabarnya dia bakal melanjutkan studi ke luar kota. Ini seperti tantanganku semakin banyak,” ujar Lepi mengakhiri ceritanya. Dan kini sudut pandang cerita beralih lagi padaku.

Tanpa kuperintah, bola mataku memandangi wajah Lepi yang terlihat muram. Memuakkan. Seolah-olah dia yang paling menderita di muka bumi ini. Anda ia tahu penderitaan para jomlo yang tak pernah punya kesempatan mendekati seorang gadis di luar sana.

“Membosankan,” aku mulai berkomentar. “Tak ada yang perlu kukomentari dari ceritamu.  Kau sudah melakukan yang kaubisa. Tugasmu selanjutnya adalah memahami wanita. Perhatian saja tak cukup untuk meluluhkan hati seorang wanita. Yang jadi masalahnya adalah wanita adalah spesies mengerikan yang sulit ditebak. Semakin kau berusaha memahaminya, semakin sulit ia dipahami. Hal itu terserah padamu bagaimana melakukannya. Aku tak ingin ikut campur.”

“Kalau begitu, langkah awal yang harus kulakukan apa?”

Aku bangkit dari dudukku dan langsung menarik tangan Lepi secepatnya. Dengan memanfaatkan kondisinya yang masih bingung itu, aku pun berkata, “Langkah awalnya adalah keluar dari kamarku!” Kutolak tubuhnya dengan kuat hingga ia terlempar ke luar dari kamarku. Secapat itu juga kututup rapat pintu kamar dan menguncinya.

Tak ada kicauan dari Lepi. Syukurlah ia mengerti dan hengkang dari kamarku. Pada dasarnya, manusia memang makhluk tak sabaran yang selalu ingin mendapatkan apa yang ia mau dengan cepat. Terlebih jika menyangkut soal cinta. Beberapa orang menghargai proses dengan cara menikmatinya. Aku menyebut golongan orang-orang ini sebagai pemalas yang tak punya motivasi. Beberapa orang lagi melupakan prosesnya dengan terus-menerus tak menyerah untuk lebih cepat meraihnya. Aku menamakan golongan ini sebagai pemaksa yang memuakkan. Dan aku bukan tipe di antara keduanya. Aku adalah tipe pemalas yang bisa mendapatkan apapun dengan cepat.

Lalu sebenarnya, sejauh apa hubungan manusia dengan cinta itu sendiri? Apakah cinta adalah mainan bagi manusia? Bila demikian, seharusnya cinta itu hanya menghibur dan tak menyakitkan. Ataukah cinta yang memainkan manusia? Bila begitu, artinya manusia tak punya kendali atas cinta. Kedua pertanyaan itu tak perlu dijawab. Cinta adalah perasaan yang mengalir begitu saja tapi jangan biarkan ia mengalir sesuka hatinya. Manusia memegang kendali sepenuhnya. Bila kau tak bisa mengendalikannya, jadilah boneka sampah yang diperbudak oleh cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar