Matematika, Fisika,
Kimia, ketiga PR dari pelajaran ini baru saja kuselesaikan. Kalian tak pernah
berpikir kalau aku ini sudah dewasa, kan? Aku adalah seorang pelajar SMA kelas
dua yang masih berusia enam belas tahun. Tidak seperti anak pada umumnya, setiap
hari Minggu aku malah lebih sering mengerjakan tugas-tugas sekolah daripada
bermain di luar. Alasannya adalah karena tak banyak yang kusukai di luar sana.
Aku bahkan sama sekali tak menyukai olahraga, karenanya aku tak bisa memainkan
olahraga apa pun. Entah apa gunanya kegiatan semacam olahraga itu diciptakan.
Sungguh membuang-buang tenaga dan waktu bersantai.
Aku baru saja hendak
merapikan buku-bukuku di atas meja belajarku. Sedikit kubenturkan di atas meja
untuk sekedar merapikannya. Lalu telingaku menangkap sebuah deritan pada kenop
pintu kamarku. Kenop berputar diikuti dengan gerak pintu yang membuka. Dari
balik pintu itu, menyembul sesosok wajah yang baru-baru ini menemuiku.
Buku-buku yang masih di tanganku itu pun meluncur indah dari genggamanku dengan
efek slow motion seiring dengan
perubahan raut wajahku. Lepi. Ia muncul berbinar-binar.
Dia masuk tanpa
memedulikan aku yang sebenarnya tak suka atas kedatangannya ke kamarku. Dia
bahkan tega mengabaikan efek slow motion
yang terjadi padaku saat aku melihatnya. Padahal seharusnya, setelah ini aku
ingin memainkan kekasihku – game Valkyrie Prifile 2: Silmeria – yang sedang
menjalankan misi di Seraphic Gate.
Lenneth, Silmeria, dan Alice pasti kecewa kalau aku tak sempat memainkan mereka
hari ini.
“Apa lagi sekarang?
Kau ini nggak pernah bosan membuat orang lain kerepotan?” tanyaku ketus.
“Nggak, nggak, saat
ini aku hanya ingin berbagi kisahku padamu, Ranka,” jawabnya berbunga-bunga.
“Kisah apa? Kisah
perjuanganmu melawan kematian namun akhirnya mati juga secara mengenaskan walau
sekeras apa pun usahamu untuk berjuang. Kapan itu terjadi? Aku tak sabar
menantikannya.”
“Bukan, bukan. Ini
kisah bahagia sekaligus penantianku. Kau pasti senang mendengarnya.”
“Hahaha, kau
bercanda, Kisanak? Kau cuma hidup sehat tanpa melakukan apa pun saja udah bikin
orang sakit hati. Malah kau ingin cerita. Pergi!”
“Ayolah, Ranka. Kau
tak perlu malu-malu.” Ia menarik lenganku dengan paksa untuk mengajakku duduk
di atas kasurku. Cengkeraman tangannya barusan menyisakan jejak kemerahan di
pergelangan tanganku. Ini pertanda ia akan menghabisiku kalau aku tak menuruti
permintaannya. Aku tak ingin dengar. Sungguh.
“Begini, ini tentang
masalahku kemarin. Aku ingin melanjutkannya.”
Sumpah, aku sama
sekali tak ingin tahu. Kemudian Lepi mulai bercerita.
POV Lepi
Kisah ini di mulai
saat awal musim semi lalu. Tinas-tunas berdaun hijau muda bergoyang saat angin
mengajaknya menari.
Musim semi di bagian mana? Kau yakin sudah memasang otakmu dengan
benar?
Suatu hari aku
bertemu dengan seorang gadis di sebuah kafe. Sorot matanya tajam, indah, dengan
rambut panjang hitam bergelombang. Aku sudah mulai suka saat pandangan pertama.
Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya hanya untuk sekedar mengamatinya. Namun
saat ia berbalik menatapku, aku segera mengalihkan pandangan ke arah lain.
Sebenarnya aku masih ingin memendam rasa ini. Hingga akhirnya aku menyerah. Aku
tak bisa berbohong bahwa dia selalu mengambil alih pikiranku. Kuputuskan untuk
meminta pin bbmnya pada temannya yang sekaligus juga temanku.
Hah? Perkenalan yang klise. Terlalu biasa. Sudah sering di mana-mana.
Akan lebih keren bila kau pertama kali bertemu dengannya di area pemakaman
umum. Lalu meminta pin bbmnya pada penjaga kuburan yang ada di situ. Kemudian
minta comblangin sama tukang gali kubur setempat. Pasti kau akan segera
mendapatkan hati gebetanmu itu dan bonus papan nisan cantik berhologram.
Begitulah, kami
memulai kedekatan kami melalui sosial media. Detik demi menit, jam demi hari,
kami selalu mengisi ulang paket kami tepat waktu agar tak terputus jalinan yang
baru saja kami bentuk. Sikapnya tak begitu peduli dan mengabaikanku memang
menjadi tantangan terberatku. Berulang kali juga ada bisikan-bisikan halus yang
menyuruhku untuk mundur dan menyerah. Hanya saja, kepedulianku terhadapnya
seperti membuahkan hasil. Ia mulai peduli padaku.
Namanya Anna.
Suatu ketika, aku dan
temannya mengatur sebuah rencana untuk mempererat hubungan tanpa sepengetahuan
dia. Dalam sebuah kafe di pinggir jalan, ia terkejut saat ia tahu aku tiba-tiba
muncul dan duduk di dekatnya. Suasana pun masih canggung. Smartphone di tangan
jadi pelampiasan untuk menghilangkan kecanggungan di antara kami berdua. Aku
sedikit tersentak saat tiba-tiba suara beningnya itu terlontar dari bibirnya.
Beberapa hal dipertanyakannya. Lambat laun obrolan mengalir menjadi hangat.
Sedikitnya aku merasa menyesal. Sebagai seorang laki-laki, seharusnya aku lah
yang berusaha mencairkan suasana. Bukan dia.
Lagi-lagi di kafe? Ttakuh! Dasar bocah. Tak punya inisiatif dan ide
brilliant. Kalau aku jadi kau, aku akan mengatur tempat pertemuan di sebuah
tempat di luar ruangan di bawah malam berbintang. Hanya ada satu meja dan dua kursi
berhadapan untuk aku dan dia. Di tengah meja terdapat lampu-lampu hias kecil
berbentuk tengkorak. Aku akan mengenakan jas dan menyuruhnya mengenakan baju
gamis. Dan saat makanan tersaji, serta obrolan yang semakin romantis. Hujan
deras turun.
Tanpa sepengetahuanku,
ia berbicara dengan temannya perihal tentangku. Sepertinya ia mulai tertarik
dan mencari tahu tentangku. Ini suatu kemajuan yang pesat. Kedekatan kami
semakin bertambah. Kami semakin terasa akrab. Banyak hal yang tak penting yang
kami bicarakan tapi tetap terasa manis. Hingga suatu kali aku mengajaknya untuk
melakukan photo session di sebuah studio foto. Anna setuju walau ia sedikit
malu. Ini adalah saat-saat indahku dengannya. Kami bukan lagi seperti dua orang
yang sedang kasmaran. Malah lebih tepat disebut dua orang yang akan segera
menuju ke pelaminan.
Haha ... foto-foto di studio? Mau perpanjang KTP? Sejujurnya aku rada
kesal mendengar ceritanya di bagian ini. Aku berharap remote pemutar dvd dengan
tombol fast forward-nya bisa berfungsi pada manusia. Agar Lepi bisa segera
menyelesaikan ceritanya secepat kentut meraba hidung.
Selang seminggu
kemudian, aku mengajaknya dinner berdua. Sipit – begitu aku memanggilnya – jauh
lebih asyik saat ditemui secara langsung daripada hanya sekedar chating lewat
sosmed. Kesan cueknya itu masih sering kurasakan. Tekadku yang masih
maju-mundur untuk mempertahankannya selalu datang bergantian. Aku tak ingin
perjuanganku ini berakhir sia-sia. Pada akhirnya, rasa yang selama ini kupendam
kuungkapkan juga.
Ow, aku semakin mengantuk.
Anna memang tak
menjawab pengakuanku secara jelas. Akan tetapi, masih ada harapan yang
tersembunyi di balik semua perkataannya. Aku masih ingin memperjuangkan rasa
ini. Mungkin kedengarannya bodoh ya? Perasaan ini tak mungkin kubiarkan lepas
begitu mudahnya. Aku masih ingin terus merasakan perasaan hangat yang mengalir
ini di setiap denyut dan aliran darahku. Meski kami belum sepenuhnya
bersatu, bersama waktu, aku akan terus mengikis
bendungan yang masih menutup relung hatinya.
Wah, heroik sekali. Persis seperti film yang kemarin kutonton. Judulnya
kupinang kau dengan sirup Marjan. Tiba-tiba aku teringat kalau sebentar lagi
puasa. Sepertinya aku harus meminta uang saku tambahan dari Ibu demi membeli
buku yang berkaitan tentang agama. Aku rada penasaran dengan buku Sejarah Tuhan
oleh Karen Armstrong dan The Templar Revelation.
“Jadi gimana
ceritaku? Cukup mengharukan, kan? Belum lagi kabarnya dia bakal melanjutkan
studi ke luar kota. Ini seperti tantanganku semakin banyak,” ujar Lepi
mengakhiri ceritanya. Dan kini sudut pandang cerita beralih lagi padaku.
Tanpa kuperintah,
bola mataku memandangi wajah Lepi yang terlihat muram. Memuakkan. Seolah-olah
dia yang paling menderita di muka bumi ini. Anda ia tahu penderitaan para jomlo
yang tak pernah punya kesempatan mendekati seorang gadis di luar sana.
“Membosankan,” aku
mulai berkomentar. “Tak ada yang perlu kukomentari dari ceritamu. Kau sudah melakukan yang kaubisa. Tugasmu
selanjutnya adalah memahami wanita. Perhatian saja tak cukup untuk meluluhkan
hati seorang wanita. Yang jadi masalahnya adalah wanita adalah spesies
mengerikan yang sulit ditebak. Semakin kau berusaha memahaminya, semakin sulit ia
dipahami. Hal itu terserah padamu bagaimana melakukannya. Aku tak ingin ikut
campur.”
“Kalau begitu,
langkah awal yang harus kulakukan apa?”
Aku bangkit dari
dudukku dan langsung menarik tangan Lepi secepatnya. Dengan memanfaatkan kondisinya
yang masih bingung itu, aku pun berkata, “Langkah awalnya adalah keluar dari
kamarku!” Kutolak tubuhnya dengan kuat hingga ia terlempar ke luar dari
kamarku. Secapat itu juga kututup rapat pintu kamar dan menguncinya.
Tak ada kicauan dari
Lepi. Syukurlah ia mengerti dan hengkang dari kamarku. Pada dasarnya, manusia
memang makhluk tak sabaran yang selalu ingin mendapatkan apa yang ia mau dengan
cepat. Terlebih jika menyangkut soal cinta. Beberapa orang menghargai proses
dengan cara menikmatinya. Aku menyebut golongan orang-orang ini sebagai pemalas
yang tak punya motivasi. Beberapa orang lagi melupakan prosesnya dengan terus-menerus
tak menyerah untuk lebih cepat meraihnya. Aku menamakan golongan ini sebagai pemaksa
yang memuakkan. Dan aku bukan tipe di antara keduanya. Aku adalah tipe pemalas
yang bisa mendapatkan apapun dengan cepat.
Lalu sebenarnya,
sejauh apa hubungan manusia dengan cinta itu sendiri? Apakah cinta adalah
mainan bagi manusia? Bila demikian, seharusnya cinta itu hanya menghibur dan tak
menyakitkan. Ataukah cinta yang memainkan manusia? Bila begitu, artinya manusia
tak punya kendali atas cinta. Kedua pertanyaan itu tak perlu dijawab. Cinta
adalah perasaan yang mengalir begitu saja tapi jangan biarkan ia mengalir
sesuka hatinya. Manusia memegang kendali sepenuhnya. Bila kau tak bisa mengendalikannya,
jadilah boneka sampah yang diperbudak oleh cinta.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar