Ceroboh artinya bunuh
diri, kematian, kuburan, dan apa saja yang bermakna sama dengan itu. Penyebab
utama kecerobohan biasanya adalah terlalu lalai atau terlalu tergesa-gesa. Yah,
tiap manusia biasanya juga tak luput dari perilaku ceroboh tersebut. Akan tetapi,
kau tidak boleh membiarkannya terlalu sering terjadi padamu apalagi menjadi
kebiasaanmu. Sebagai contoh, saat kau sedang memeriksa kebocoran yang terjadi
pada tabung lpg 3 kg milikmu pada malam hari, saat itu pula listrik mati.
Karena merasa tergesa-gesa butuh penerangan, tanpa sadar kau meraba sakumu dan
mengambil pemantik api yang biasanya kau gunakan untuk merokok. Begitu kau
menyalakannya, meninggal.
Mungkin contoh di
atas dianggap terlalu membual dan mengada-ada. Persentasa kemungkinan terjadinya
bisa di bawah 5%. Akan tetapi, selama hal itu masih masuk akal terjadi, hal itu
tetap bisa terjadi. Maka dari itu, mulai detik ini aku akan berusaha lebih
fokus dan tenang untuk mengerjakan sesuatu. Demi mencegah terjadinya
kecerobohan pada diriku, aku tak boleh terburu-buru dalam hal apa pun. Aku tak
boleh terburu-buru berjalan ke sekolah meski hampir terlambat. Tak perlu
terburu-buru saat bangun pagi. Tak perlu terburu-buru menyelamatkan orang yang
sedang tenggelam. Keselamatan diriku adalah prioritas utama.
Matahari yang sudah
agak condong ke barat menyusupkan sinarnya lewat celah daun-daun pohon. Suara
sandalku yang setengah terseret terdengar jelas di telinga saat melintas di
jalanan sepi ini. Aku memang paling suka melewati jalan kecil ini. Momen untuk
menikmati rimbunnya pohon-pohon dan semilir angin yang kadangkala berhembus itu
yang sangat kusukai. Dari kejauhan, aku melihat seorang gadis sedang terduduk
di pinggir jalan sambil menengadah ke atas. Langkahku mendekat dan kudapati
gadis itu adalah kenalanku. Aku tetap melangkah melaluinya tanpa
menghiraukannya.
“Tunggu!” suara itu
terdengar dari arah belakang. Dari gadis yang duduk itu. Aku tak memberi respon
dan tetap berjalan. “Jangan mengabaikanku! Aku bilang tunggu!”
Dengan terpaksa aku
menoleh, “Apa?”
Ia bangkit dari
posisinya duduk dan melangkah mendekatiku. “Kau tak lihat aku sedang terkapar
lesu tak berdaya di pinggir jalan? Kenapa kau tak menawarkan bantuan?”
Dari segi mana kau
menyebut dirimu sedang terkapar tak berdaya, hah?
“Maaf, aku menganut
prinsip tak memberikan bantuan pada orang lain apapun yang terjadi meski nyawa
taruhannya. Permisi,” ucapku berpamitan.
“Hey,” gadis ini
menarik bahuku. “Saat ini cuma kau yang ada di sini. Aku butuh pertolongannmu,
Ranka. Tolonglah.”
Salahmu sendiri.
Kenapa duduk meratap di jalanan sepi seperti ini? Seharusnya kau memilih area
yang lebih ramai. Misalnya di area pesta pernikahan. “Baiklah, akan kudengar
permintaaanmu.”
Matanya berbinar dan
ia mulai bercerita. “Sebenarnya saat ini aku sedang diusir dari rumah. Aku tak
punya tempat tinggal sekarang. Jadi, aku ingin minta bantuanmu.”
“Baiklah, aku sudah
mendengarnya dan aku harus segera pulang.”
“Hey! Kau tak jadi
membantuku?”
“Aku hanya bilang
akan kudengar permintaanmu. Bukan bilang membantumu. Sampai jumpa.”
“Tunggu, tunggu. Oh,
ayolah Ranka, kumohon. Aku butuh tempat tinggal sementara. Kau sebegitu tak
inginnya membantuku, ya?” sorot matanya meredup. Wajahnya murung.
Aku mengangguk dan
meninggalkannya. Tak terdengar lagi suara keluar dari bibirnya. Sepertinya ia
sudah menyerah. Yang tersisa kini hanya suara sandalku yang setengah kusuret di
atas tanah. Dugaanku meleset. Tak berangsur lama ia mengejarku dan
merengek-rengek padaku tanpa henti. Apa boleh buat.
Perempuan ini bernama
Hesti. Dia teman satu kelasku. Kini ia terduduk sopan di atas sofa di ruang
tamuku dengan mimik wajah memelas dibuat-buat.
“Kau bisa tinggal di
sini sesukanya semaumu. Tapi aku takkan menyediakan makanan untukmu.”
“Lalu aku makan apa?”
“Apa saja kecuali
perabotan di rumah ini.”
“Jahat!” ucapnya
dengan nada cemberut. Aku tak menggubrisnya dan segera meninggalkannya menuju
arah kamarku.
“Mau ke mana? Kau tak
ingin mendengar penyebab kenapa aku sampai diusir dari rumah?”
“Nggak, aku menganut
prinsip lain yaitu menghindari hal-hal yang akan membuatku kerepotan nantinya.”
Dengan cepat, Hesti
melompat dari sofa dan segera menarik paksa diriku untuk kembali duduk di
sofa. Ia memaksaku untuk mendengarkan
ceritanya. Inilah sebabnya aku tak suka membantu orang lain. Waktu berhargaku
yang biasa kugunakan untuk bermain game, sirna sudah.
Dengan memasang
tampang mengantuk yang sengaja kubuat-buat, aku memerhatikan gerak bibirnya.
Katanya ia diusir karena tanpa sengaja memecahkan beberapa buah guci mahal
koleksi ibunya karena tergesa-gesa berlari ke luar rumah untuk mengejar abang
bakso yang lewat. Sebelumnya juga ia menjatuhkan dompet ibunya yang berisi
banyak uang, kartu atm dan surat-surat lain entah di mana. Sebelumnya lagi ia
juga menumpahkan pemutih ke atas pakaian bermerk ibunya akibat kecerobohannya.
Aku rasa keputusan ibunya adalah hal yang sangat tepat. Tapi itu artinya, kini
aku yang bakal terkena dampaknya bila aku tak segera ikut mengusirnya juga.
“Ibuku itu nggak
pengertian. Sedari kecil aku memang sering melakukan kesalahan. Tapi aku kan
nggak sengaja?” Sambil berkata seperti itu, ia memukul keras permukaan meja dan
membuat vas bunga di atasnya jatuh, menggelinding ke arah pinggir. Aku berhasil
menangkapnya sebelum jatuh ke lantai.
Hesti tersenyum
malu-malu. Pertanda sudah terlihat. Aku harus segera mengenyahkan gadis ini
dari rumahku.
“Jadi begitulah,
ibuku selalu saja marah-marah. Padahal aku kan nggak sengaja. Bukan mauku kan
bertingkah ceroboh seperti itu? Sudah memang bawaanya seperti itu. Dan sore tadi,
aku diusirnya. Ibuku memang tak pernah sayang padaku. Ia memang lebih sayang
pada barang-barang berharganya saja,” keluh Hesti sedih.
Sekalipun ia memasang
tampang sedih dramatis seperti itu. Aku harus tetap konsisten untuk segera
mengusirnya dari rumah ini. “Apa kau yakin dengan pikiranmu itu?”
Bola mata Hesti
bergerak. Dahinya mengernyit sambil menatap ke arahku. “Maksudmu, Ranka?”
Salah satu sifat
dasar manusia adalah tidak suka disalahkan. Sebesar apa pun kesalahan yang kau
perbuat, otakmu akan merespon cepat untuk mencari-cari alasan agar kau bisa
menepis kesalahan yang ditujukan padamu.
“Daripada terus menyalahkan
ibumu dan keadaanmu, kenapa kau tak berusaha untuk mengubah perilaku cerobohmu
itu? Mengharapkan pengertian ibumu saja takkan mengubah keadaan. Tidak hanya
ibumu, bahkan orang lain pun bisa merasa resah karena tingkahmu.”
Wajah Hesti kembali
cemberut. “Kau tak mengerti, Ranka. Aku sudah berusaha mencoba untuk
merubahnya. Aku memang sudah ditakdirkan seperti ini.”
Alasan itu menguap
seketika dari bibirnya begitu aku membalikkan kesalahan padanya. Kini ia
menyalahkan takdir. Otak memang tak sepatutnya disalahkan. Keinginannya yang
begitu kuat untuk tak mau disalahkan itu yang memaksa otaknya untuk mencari alasan.
Aku juga tak menampik bila aku sering melakukan hal yang sama. Tapi, bila
berhubungan dengan otak, aku takkan kalah. Secepatnya aku harus membuatnya
pergi dari rumahku!
“Takdir? Setelah itu,
siapa dan apa lagi yang akan kau salahkan?"
"Bukan begitu.
Aku tak pernah berhasil. Mau cara apa pun yang kulakukan, pada akhirnya hanya
menciptakan kecerobohan yang lain."
"Bukan tak
berhasil. Tapi kau yang terlalu menganggap ringan masalahmu," kutepis
alasannya itu dengan cepat. "Apa kau sudah mencobanya dengan
sungguh-sungguh? Apa kau pernah sedikitnya merasa sangat bersalah dan
merenungkan kecerobohanmu? Aku yakin kau hanya berpikiran 'ah, sudahlah,
namanya tak sengaja' begitu, kan?”
Hesti hening.
Kepalanya menunduk dan terpaku beberapa saat.
“Aku benar, kan? Kau
hanya mengabaikannya, dan menganggapnya suatu kebiasaanmu sedari kecil. Tak ada
rasa penyesalan dan terus mengulangi kesalahanmu itu sebagai bagian dari
kehidupanmu.”
Aku meletakkan
kembali vas bunga yang ada di genggamanku ke atas meja. Karena begitu
terobsesinya untuk segera mengusir perempuan dari rumah ini, aku sampai tak
sadar terus menggenggam vas bunga yang dibeli ibuku saat diskon ini.
“Temukan sumber utama
penyebab kecerobohanmu. Kau takkan bisa memulai apa pun kalau kau sendiri tak
mengerti masalahmu. Sekarang pulanglah. Aku yakin ibumu saat ini sedang merasa
menyesal. Biar bagaimanapun, kau adalah darah dagingnya.”
Hesti mengangkat
tubuhnya dari posisinya duduk. Kakinya mulai melangkah menuju pintu keluar dari
rumahku tanpa mengatakan apa pun. Sesaat sebelum dirinya benar-benar
meninggalkan rumahku, ia menoleh dan mengucapkan beberapa kata sejenis terima
kasih sambil menjulurkan lidahnya. Tenang saja, aku sama sekali tak berniat
membantumu. Aku hanya ingin kau segera pergi dari rumahku.
Tanpa menunggu lebih
lama lagi, tanganku mendorong daun pintu rumahku dengan cepat. Misi pengusiran
secara halus berhasil tanpa mengalami hambatan. Aku menang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar