Senin, 11 Mei 2015

Aku Harus Segera Mengusirnya dari Rumahku

Ceroboh artinya bunuh diri, kematian, kuburan, dan apa saja yang bermakna sama dengan itu. Penyebab utama kecerobohan biasanya adalah terlalu lalai atau terlalu tergesa-gesa. Yah, tiap manusia biasanya juga tak luput dari perilaku ceroboh tersebut. Akan tetapi, kau tidak boleh membiarkannya terlalu sering terjadi padamu apalagi menjadi kebiasaanmu. Sebagai contoh, saat kau sedang memeriksa kebocoran yang terjadi pada tabung lpg 3 kg milikmu pada malam hari, saat itu pula listrik mati. Karena merasa tergesa-gesa butuh penerangan, tanpa sadar kau meraba sakumu dan mengambil pemantik api yang biasanya kau gunakan untuk merokok. Begitu kau menyalakannya, meninggal.

Mungkin contoh di atas dianggap terlalu membual dan mengada-ada. Persentasa kemungkinan terjadinya bisa di bawah 5%. Akan tetapi, selama hal itu masih masuk akal terjadi, hal itu tetap bisa terjadi. Maka dari itu, mulai detik ini aku akan berusaha lebih fokus dan tenang untuk mengerjakan sesuatu. Demi mencegah terjadinya kecerobohan pada diriku, aku tak boleh terburu-buru dalam hal apa pun. Aku tak boleh terburu-buru berjalan ke sekolah meski hampir terlambat. Tak perlu terburu-buru saat bangun pagi. Tak perlu terburu-buru menyelamatkan orang yang sedang tenggelam. Keselamatan diriku adalah prioritas utama.

Matahari yang sudah agak condong ke barat menyusupkan sinarnya lewat celah daun-daun pohon. Suara sandalku yang setengah terseret terdengar jelas di telinga saat melintas di jalanan sepi ini. Aku memang paling suka melewati jalan kecil ini. Momen untuk menikmati rimbunnya pohon-pohon dan semilir angin yang kadangkala berhembus itu yang sangat kusukai. Dari kejauhan, aku melihat seorang gadis sedang terduduk di pinggir jalan sambil menengadah ke atas. Langkahku mendekat dan kudapati gadis itu adalah kenalanku. Aku tetap melangkah melaluinya tanpa menghiraukannya.

“Tunggu!” suara itu terdengar dari arah belakang. Dari gadis yang duduk itu. Aku tak memberi respon dan tetap berjalan. “Jangan mengabaikanku! Aku bilang tunggu!”

Dengan terpaksa aku menoleh, “Apa?”

Ia bangkit dari posisinya duduk dan melangkah mendekatiku. “Kau tak lihat aku sedang terkapar lesu tak berdaya di pinggir jalan? Kenapa kau tak menawarkan bantuan?”

Dari segi mana kau menyebut dirimu sedang terkapar tak berdaya, hah?

“Maaf, aku menganut prinsip tak memberikan bantuan pada orang lain apapun yang terjadi meski nyawa taruhannya. Permisi,” ucapku berpamitan.

“Hey,” gadis ini menarik bahuku. “Saat ini cuma kau yang ada di sini. Aku butuh pertolongannmu, Ranka. Tolonglah.”

Salahmu sendiri. Kenapa duduk meratap di jalanan sepi seperti ini? Seharusnya kau memilih area yang lebih ramai. Misalnya di area pesta pernikahan. “Baiklah, akan kudengar permintaaanmu.”

Matanya berbinar dan ia mulai bercerita. “Sebenarnya saat ini aku sedang diusir dari rumah. Aku tak punya tempat tinggal sekarang. Jadi, aku ingin minta bantuanmu.”

“Baiklah, aku sudah mendengarnya dan aku harus segera pulang.”

“Hey! Kau tak jadi membantuku?”

“Aku hanya bilang akan kudengar permintaanmu. Bukan bilang membantumu. Sampai jumpa.”

“Tunggu, tunggu. Oh, ayolah Ranka, kumohon. Aku butuh tempat tinggal sementara. Kau sebegitu tak inginnya membantuku, ya?” sorot matanya meredup. Wajahnya murung.

Aku mengangguk dan meninggalkannya. Tak terdengar lagi suara keluar dari bibirnya. Sepertinya ia sudah menyerah. Yang tersisa kini hanya suara sandalku yang setengah kusuret di atas tanah. Dugaanku meleset. Tak berangsur lama ia mengejarku dan merengek-rengek padaku tanpa henti. Apa boleh buat.

Perempuan ini bernama Hesti. Dia teman satu kelasku. Kini ia terduduk sopan di atas sofa di ruang tamuku dengan mimik wajah memelas dibuat-buat.

“Kau bisa tinggal di sini sesukanya semaumu. Tapi aku takkan menyediakan makanan untukmu.”

“Lalu aku makan apa?”

“Apa saja kecuali perabotan di rumah ini.”

“Jahat!” ucapnya dengan nada cemberut. Aku tak menggubrisnya dan segera meninggalkannya menuju arah kamarku.

“Mau ke mana? Kau tak ingin mendengar penyebab kenapa aku sampai diusir dari rumah?”

“Nggak, aku menganut prinsip lain yaitu menghindari hal-hal yang akan membuatku kerepotan nantinya.”

Dengan cepat, Hesti melompat dari sofa dan segera menarik paksa diriku untuk kembali duduk di sofa.  Ia memaksaku untuk mendengarkan ceritanya. Inilah sebabnya aku tak suka membantu orang lain. Waktu berhargaku yang biasa kugunakan untuk bermain game, sirna sudah.

Dengan memasang tampang mengantuk yang sengaja kubuat-buat, aku memerhatikan gerak bibirnya. Katanya ia diusir karena tanpa sengaja memecahkan beberapa buah guci mahal koleksi ibunya karena tergesa-gesa berlari ke luar rumah untuk mengejar abang bakso yang lewat. Sebelumnya juga ia menjatuhkan dompet ibunya yang berisi banyak uang, kartu atm dan surat-surat lain entah di mana. Sebelumnya lagi ia juga menumpahkan pemutih ke atas pakaian bermerk ibunya akibat kecerobohannya. Aku rasa keputusan ibunya adalah hal yang sangat tepat. Tapi itu artinya, kini aku yang bakal terkena dampaknya bila aku tak segera ikut mengusirnya juga.

“Ibuku itu nggak pengertian. Sedari kecil aku memang sering melakukan kesalahan. Tapi aku kan nggak sengaja?” Sambil berkata seperti itu, ia memukul keras permukaan meja dan membuat vas bunga di atasnya jatuh, menggelinding ke arah pinggir. Aku berhasil menangkapnya sebelum jatuh ke lantai.

Hesti tersenyum malu-malu. Pertanda sudah terlihat. Aku harus segera mengenyahkan gadis ini dari rumahku.

“Jadi begitulah, ibuku selalu saja marah-marah. Padahal aku kan nggak sengaja. Bukan mauku kan bertingkah ceroboh seperti itu? Sudah memang bawaanya seperti itu. Dan sore tadi, aku diusirnya. Ibuku memang tak pernah sayang padaku. Ia memang lebih sayang pada barang-barang berharganya saja,” keluh Hesti sedih.

Sekalipun ia memasang tampang sedih dramatis seperti itu. Aku harus tetap konsisten untuk segera mengusirnya dari rumah ini. “Apa kau yakin dengan pikiranmu itu?”

Bola mata Hesti bergerak. Dahinya mengernyit sambil menatap ke arahku. “Maksudmu, Ranka?”

Salah satu sifat dasar manusia adalah tidak suka disalahkan. Sebesar apa pun kesalahan yang kau perbuat, otakmu akan merespon cepat untuk mencari-cari alasan agar kau bisa menepis kesalahan yang ditujukan padamu.

“Daripada terus menyalahkan ibumu dan keadaanmu, kenapa kau tak berusaha untuk mengubah perilaku cerobohmu itu? Mengharapkan pengertian ibumu saja takkan mengubah keadaan. Tidak hanya ibumu, bahkan orang lain pun bisa merasa resah karena tingkahmu.”

Wajah Hesti kembali cemberut. “Kau tak mengerti, Ranka. Aku sudah berusaha mencoba untuk merubahnya. Aku memang sudah ditakdirkan seperti ini.”

Alasan itu menguap seketika dari bibirnya begitu aku membalikkan kesalahan padanya. Kini ia menyalahkan takdir. Otak memang tak sepatutnya disalahkan. Keinginannya yang begitu kuat untuk tak mau disalahkan itu yang memaksa otaknya untuk mencari alasan. Aku juga tak menampik bila aku sering melakukan hal yang sama. Tapi, bila berhubungan dengan otak, aku takkan kalah. Secepatnya aku harus membuatnya pergi dari rumahku!

“Takdir? Setelah itu, siapa dan apa lagi yang akan kau salahkan?"

"Bukan begitu. Aku tak pernah berhasil. Mau cara apa pun yang kulakukan, pada akhirnya hanya menciptakan kecerobohan yang lain."

"Bukan tak berhasil. Tapi kau yang terlalu menganggap ringan masalahmu," kutepis alasannya itu dengan cepat. "Apa kau sudah mencobanya dengan sungguh-sungguh? Apa kau pernah sedikitnya merasa sangat bersalah dan merenungkan kecerobohanmu? Aku yakin kau hanya berpikiran 'ah, sudahlah, namanya tak sengaja' begitu, kan?”

Hesti hening. Kepalanya menunduk dan terpaku beberapa saat.

“Aku benar, kan? Kau hanya mengabaikannya, dan menganggapnya suatu kebiasaanmu sedari kecil. Tak ada rasa penyesalan dan terus mengulangi kesalahanmu itu sebagai bagian dari kehidupanmu.”

Aku meletakkan kembali vas bunga yang ada di genggamanku ke atas meja. Karena begitu terobsesinya untuk segera mengusir perempuan dari rumah ini, aku sampai tak sadar terus menggenggam vas bunga yang dibeli ibuku saat diskon ini.

“Temukan sumber utama penyebab kecerobohanmu. Kau takkan bisa memulai apa pun kalau kau sendiri tak mengerti masalahmu. Sekarang pulanglah. Aku yakin ibumu saat ini sedang merasa menyesal. Biar bagaimanapun, kau adalah darah dagingnya.”


Hesti mengangkat tubuhnya dari posisinya duduk. Kakinya mulai melangkah menuju pintu keluar dari rumahku tanpa mengatakan apa pun. Sesaat sebelum dirinya benar-benar meninggalkan rumahku, ia menoleh dan mengucapkan beberapa kata sejenis terima kasih sambil menjulurkan lidahnya. Tenang saja, aku sama sekali tak berniat membantumu. Aku hanya ingin kau segera pergi dari rumahku. 

Tanpa menunggu lebih lama lagi, tanganku mendorong daun pintu rumahku dengan cepat. Misi pengusiran secara halus berhasil tanpa mengalami hambatan. Aku menang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar