Remaja atau kawula muda identik dengan segudang kegiatan.
Entah itu kegiatan sekolah atau ekstrakurikuler. Kegiatan di luar sekolah
seperti kemasyarakatan atau keagamaan. Kegiatan penting dan tidak penting.
Sampai kegiatan yang sama sekali tak bermanfaat. Masing-masing menikmati dan
menyukai kegiatannya. Sebagai seorang remaja, aku juga salah seorang yang
memiliki kegiatan yang tak kalah penting dan bersaing ketat dengan aktivitas
remaja lainnya. Kegiatan yang selalu membuatku sibuk, menyita waktu, dan selalu
kubanggakan adalah bermain game konsol. Tak peduli apa kata orang. Aku dan game
adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan.
Malam ini seharusnya aku bermain game seperti biasa. Duduk
santai di depan layar monitor dengan kedua tangan memegang dan menekan
tombol-tombol pada joypad. Kalau saja Ovan – tetangga sebelah sekaligus teman
bermainku sejak kecil – tidak datang dan
menjemputku ke rumah.
“Ikutlah bersamaku ke mesjid. Ada yang ingin kuperlihatkan
padamu,” katanya. Dia adalah salah satu orang yang tak bisa kutolak
permintaannya. Salah satu kelemahan terbesarku.
Kami berdua sampai di mesjid tepat saat azan isya selesai.
Setelah selesai menunaikan kewajiban, beberapa kelompok muda-mudi tetap tinggal
di mesjid. Mereka mulai membentuk kelompok-kelompok kecil dan mengerjakan
sesuatu. Sebagian kelompok ada di dalam mesjid, sebagian lagi di luar mesjid.
“Remaja mesjid, ya?” gumamku.
Mereka tidak melakukan kegiatan pengajian atau sejenisnya
seperti yang kubayangkan. Mereka seperti sedang mengerjakan hal yang sudah
direncanakan. Aku memerhatikan gerak-gerik mereka dengan berdiri sambil
bersandar di salah satu dinding mesjid. Beberapa orang yang tak kukenal
sesekali melirik ke arahku. Mohon maaf bila kehadiranku di sini sedikit
mengganggu kegiatan kalian. Tapi tak perlu melihatku sampai seserius itu. Jika
otot mata kalian mengalami nyeri dan luka-luka saat terlalu serius melirikku,
tolong jangan kirim surat tuntutan ke rumahku.
“Bagian menariknya, akan segera dimulai,” ujar Ovan yang
tiba-tiba datang menghampiriku. Matanya kini tertuju pada dua remaja pria yang
sedikit lebih tua dari kami.
Aku mengikuti arah mata Ovan. Kedua remaja pria itu
mendatangi sebuah kelompok kecil yang sedang duduk tidak jauh dari tempat kami
berdiri. Mereka bertikai dalam kata-kata. Itu yang saat ini bisa kubaca. Yang
mereka debatkan adalah seputar lagu religi yang akan dibawakan untuk mengisi
acara Isra’ Mi’raj yang akan segera diadakan. Yang satu menyarankan satu lagu,
dan yang satu membiarkan kelompok itu memilih lagu yang akan dibawa. Huh. Hal
sepele itu seharusnya tak perlu diperdebatkan. Apa saja bisa kau bawakan
asalkan lagunya seputar tentang dakwah, kan? Apa mereka berdua itu orang bodoh?
“Ini yang kau maksud?” tanyaku pada Ovan. Dia menganggukkan
kepala.
“Tapi, tak hanya itu, saja. Ayo kita lihat adegan selanjutnya.”
Kedua remaja pria itu meninggalkan perdebatannya dan
melangkah ke kelompok yang berbeda. Salah satu remaja laki-laki itu memberikan
masukan pada suatu kelompok. Berupa usulan menu makanan ringan untuk para
undangan. Sepertinya kelompok yang bertugas dalam masalah konsumsi. Lalu yang
satunya kembali datang untuk mendebatnya agar membiarkan kelompok itu yang
memilih menunya sendiri. Pertikaian kembali. Lalu berakhir lagi tanpa ada
keputusan yang jelas. Kelompok yang ditinggalkan itu pun mendengus tanpa bisa
berbuat apa-apa. Kemudian salah satu dari mereka berdua mendatangi kelompok
yang lain, lalu yang satunya kembali datang, dan kembali membuat perdebatan
yang tak penting.
Aku menarik napas panjang dan membuangnya. “Kapan
selesainya?”
“Itulah masalahnya,” jawab Ovan dengan cengiran yang memaksa.
“Mana ketuanya? Seharusnya dia yang memutuskan.”
“Itu juga masalahnya,” cengiran Ovan makin tak enak dilihat.
“Ketua remaja mesjid ini sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu. Kemudian
dua orang yang di sana itu mencalonkan diri sebagai kandidatnya.”
“Ha?” Aku menaruh rasa penasaran. “Lalu?”
“Hasil voting pemilihan berakhir seimbang. Kemudian
dilakukan voting kedua, dan hasilnya sama saja. Sepertinya tak ada yang ingin
merubah pilihannya.”
Yang patut disalahkan sebenarnya adalah jumlah anggota
remaja mesjid kalian. Kenapa harus genap? Jelas saja bisa seimbang. Merepotkan
saja.
“Lalu? Kenapa tidak mencalonkan kandidat yang lain saja
sebagai ketua?”
“Tak ada yang berminat mencalonkan diri. Hanya mereka berdua
yang ikhlas menjadi kandidat.”
Sebaiknya kalian semua juga ikhlas untuk membubarkan remaja
mesjid kalian ini. Mereka ini sudah tahu penyebab masalahnya, tapi tak satu pun
dari mereka yang ingin melangkah untuk mencari pemecahan masalahnya.
“Bagaimana denganmu? Kenapa tidak kau saja yang mencalonkan
diri sebagai ketua?”
Ovan mengulas senyum. Kali ini senyumnya tampak lebih tulus
dari yang tadi. “Kalau aku yang jadi ketua, takkan ada yang menarik.”
Manusia bejat! Dia ikut organisasi semacam ini hanya untuk
menyaksikan hal-hal yang menarik? Ingatlah, ini organisasi keagamaan. Tempat
untuk memperdalam ilmu agama dan menerapkannya dalam kehidupan.
“Lalu? Apa maksudmu memperlihatkanku hal semacam ini?”
tanyaku sedikit sewot. Alasannya itu masih membuat pikiranku serasa tak nyaman.
“Ya, apalagi? Masa kau tak menyadarinya sih?”
Orang yang mengajakku ini tak layak disebut manusia. Ia
lebih cocok disebut sebagai iblis. Iblis yang memakai kedok manusia untuk
melihat sisi-sisi menarik dari manusia. Ia sengaja menarikku ke tempat ini agar
aku bisa melakukan sesuatu yang bisa menghiburnya. Dia memang bejat dari
hatinya.
“Nggak! Aku menolak. Aku bukan ikan yang mendatangi sebuah
kail yang tak memiliki umpan. Aku pulang,” ujarku sambil berniat melangkah
keluar dari mesjid.
“Kau yakin nggak mau memainkan ‘game’ ini? Menarik loh. Aku
tahu otakmu pasti sudah terstimulasi untuk memecahkan masalah ini. Kau ingin
membiarkannya tersimpan dalam otakmu?”
Ovan mulai memprovokasi. Meski aku benci, harus kuakui bahwa
perkataannya memang benar. Setelah melihat permasalahan barusan, beberapa
bagian di otakku sudah mencari penyelesaian masalah ini tanpa kuperintah. Bila
kubiarkan begitu saja, kepalaku bisa sakit sendiri dibuatnya. Apa boleh buat.
“Ovan.”
“Ya?” jawabnya dengan senyuman liciknya itu.
“Setelah aku menyelesaikan persoalan ini. Kau harus
membelikanku sebuah kaset game original di toko game langgananku.”
“Ha?!” raut wajahnya berubah. Pori-pori wajahnya seakan
membesar untuk mengajukan unjuk rasa. “Ta-tapi harga kaset game original itu
kan mahal. Apa tak ada tawaran lain?”
Kau kira aku yang jualan kasetnya? Tawar saja sana pada
penjual kasetnya.
“Maaf saja, aku tak suka diperintah seenaknya atau bermain
dalam ‘game’ yang sebenarnya bukan aku yang menikmati. Bila kau menginginkan
sesuatu, kau harus mau membayarnya. Jangan harapkan sesuatu yang besar tanpa
mengorbankan sesuatu.”
Sebenarnya aku tak terlalu yakin dengan yang kukatakan.
Memangnya hal besar apa yang bisa kulakukan nanti? Bayangannya saja masih buram
di benakku. Hanya saja, aku tak bisa membiarkan Ovan menggunakanku semaunya
saja. Ini demi kebanggaan dan harga diriku. Meski kami adalah teman semasa
kecil, bila ia bertindak terlalu jauh, aku tak boleh sungkan untuk
menginjak-injaknya.
Ovan mendengus. Kemudian menepukkan sebelah tangannya ke
atas bahuku. “Baiklah,” jawabnya. “Berikan aku pertunjukan yang menarik.”
*
Inti dari permasalahannya adalah karena perbedaam pendapat
atau ketidakcocokan di antara dua kandidat ketua remaja mesjid ini. Keduanya
selalu bertentangan. Keduanya seperti ingin menonjolkan keunggulannya
masing-masing. Bocah! Mereka berdua bahkan lupa tujuan utama dari acara yang
akan mereka selenggarakan.
Ovan mengajakku untuk mendatangi mereka berdua yang masih
mendebatkan sesuatu. Masalah dekorasi tempat sepertinya. Memangnya mesjid ini
ingin kalian hias seperti apa? Pelaminan pengantin?
“Maaf, Kak Geo, Kak Teo, aku ingin bicara sebentar,” ujar
Ovan menengahi.
Geo? Teo? Mereka kembar? Masa? Kenapa wajahnya tak mirip? Yang
mana yang Geo? Yang Teo? Apa mereka juga sering mendebatkan nama mereka juga
yang hampir mirip ini? Atau mereka sebenarnya tak saling suka karena nama
mereka hampir mirip? Atau mereka ingin sekali saling bertukar nama tetapi
enggan karena keduanya menyembunyikan perasaannya masing-masing?
“Tunggu, Ovan. Apa kau tak lihat kalau kami sedang
membicarakan sesuatu yang penting?” kata seorang yang entah bernama Geo atau
Teo. Aku belum tahu yang mana.
“Dan juga jangan membawa orang asing seenaknya di hadapan
kami,” kata seorang lagi yang entah bernama Geo atau Teo. Jujur aku bingung.
Dan ini sungguh menggangguku.
“Karenanya, dengarkan dulu ucapanku. Aku justru ingin
mengenalkan anggota baru. Dia ingin bergabung dengan remaja mesjid kita.”
“Ha?!” aku terperanjak. Tangan Ovan segera membungkam mulut
dan kekagetanku. Ini sungguh di luar perkiraan. Aku tak pernah sekalipun
berniat untuk bergabung dengan organisasi ini. Dan juga rasa penasaranku akan
mana yang Geo dan mana yang Teo ini masih belum terjawab.
“Oh, anggota baru ya? Ya sudah, silakan catat namanya di
daftar keanggotaan pada skretaris remaja mesjid,” kata yang seorang yang
berkacamata. Dia ini Geo, atau Teo?
“Jangan seenaknya memerintah Ovan. Memangnya kau sudah jadi
ketua?” bantah seorang lagi yang memiliki rahang terkesan sangar. Kurasa dia
yang Geo. Tapi bisa juga dia yang Teo.
Cukup! Ovan sial ini bahkan tak memberitahuku yang mana Geo
dan yang mana Teo sampai sekarang. Terlebih lagi dua nama ini bisa sebegitunya
menyita seluruh pikiranku. Apa ketololan itu menular? Bila demikian, aku harus
segera menyelesaikan masalah ini dan segera menjauhi mereka berdua. Dan juga
sikap kedua orang ini sungguh membuatku muak. Bibirku yang mulai gatal ini tak
bisa lagi kubiarkan diam begitu saja. Aku menarik sedikit napas panjang.
“Menjadi ketua remaja mesjid itu sangat sibuk ya? Bahkan
menyapa anggota yang baru bergabung saja sulit. Pasti tugasnya berat.”
Kalimat itu tercuat juga dari mulutku. Efeknya langsung
terlihat. Kini mata kedua orang itu tertuju padaku sambil tertegun. Raut wajah
yang tegang tadi mengendur. Lalu hanyut dalam keheningan sesaat. Setidaknya kumohon,
tolong jangan diam saja! Cepat beri tahu aku mana di antara kalian yang bernama
Geo dan Teo!
“A-ah, iya, maafkan aku. Aku tak bermaksud begitu. Karena
terlalu serius bicara, aku jadi lupa,” balas salah satu di antara mereka dengan
alasan. “Lalu, siapa namanya ya?” tanyanya.
Tolong beritahu dulu namamu sebelum kau menanyakan nama
seseorang! Kau ini Geo atau Teo! Aku sudah tak sabar dari tadi ingin tahu.
“Aku juga. Aku minta maaf. Iya, anggota baru kan, ya?
Namanya siapa ya?” kata yang seorang lagi. Tiba-tiba saja mereka jadi kompak.
Sebutkan namamu! Sial! Aku sungguh penasaran. Tiap sel di
otakku kini berteriak-teriak ingin tahu mana yang Geo dan mana yang Teo. Kalian
ini sengaja membuatku penasaran hingga tetes susu kental manis terakhir?
Ah, menyabalkan. Sudahlah, sebaiknya aku saja yang cari tahu
sendiri.
“Sebenarnya yang bernama Kak Geo yang mana?” tanyaku
langsung karena tak ingin lagi berlama-lama menunggu jawabannya.
Seorang yang berahang tegas mengangkat tangannya. Berarti
yang berkacamata adalah Teo.
“Namaku Ranka. Aku akan bergabung dengan organisasi remaja
ini atas-.”
Sebelah kakiku ditendang kuat oleh Ovan. “Ah, aku lihat ada
nyamuk tadi hinggap di betismu. Jadi kutendang saja, hahaha.”
Aku akan ingat dan membalas tendangan ini.
Pada akhirnya misteri ini sudah terpecahkan. Penantian
panjang yang penuh uraian air mata dan keringat akan sesuatu yang tak penting
dan tak ada manfaatnya terjawab sudah. Aku sudah tahu mana yang Geo dan mana
yang Teo.
BERSAMBUNG ....
Part 2 nya menyusul ^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar