Senin, 22 Juni 2015

Sesuatu akan menjadi rumit bila kau melupakan tujuan awalmu

Remaja atau kawula muda identik dengan segudang kegiatan. Entah itu kegiatan sekolah atau ekstrakurikuler. Kegiatan di luar sekolah seperti kemasyarakatan atau keagamaan. Kegiatan penting dan tidak penting. Sampai kegiatan yang sama sekali tak bermanfaat. Masing-masing menikmati dan menyukai kegiatannya. Sebagai seorang remaja, aku juga salah seorang yang memiliki kegiatan yang tak kalah penting dan bersaing ketat dengan aktivitas remaja lainnya. Kegiatan yang selalu membuatku sibuk, menyita waktu, dan selalu kubanggakan adalah bermain game konsol. Tak peduli apa kata orang. Aku dan game adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan.

Malam ini seharusnya aku bermain game seperti biasa. Duduk santai di depan layar monitor dengan kedua tangan memegang dan menekan tombol-tombol pada joypad. Kalau saja Ovan – tetangga sebelah sekaligus teman bermainku sejak kecil –  tidak datang dan menjemputku ke rumah.

“Ikutlah bersamaku ke mesjid. Ada yang ingin kuperlihatkan padamu,” katanya. Dia adalah salah satu orang yang tak bisa kutolak permintaannya. Salah satu kelemahan terbesarku.

Kami berdua sampai di mesjid tepat saat azan isya selesai. Setelah selesai menunaikan kewajiban, beberapa kelompok muda-mudi tetap tinggal di mesjid. Mereka mulai membentuk kelompok-kelompok kecil dan mengerjakan sesuatu. Sebagian kelompok ada di dalam mesjid, sebagian lagi di luar mesjid.

“Remaja mesjid, ya?” gumamku.

Mereka tidak melakukan kegiatan pengajian atau sejenisnya seperti yang kubayangkan. Mereka seperti sedang mengerjakan hal yang sudah direncanakan. Aku memerhatikan gerak-gerik mereka dengan berdiri sambil bersandar di salah satu dinding mesjid. Beberapa orang yang tak kukenal sesekali melirik ke arahku. Mohon maaf bila kehadiranku di sini sedikit mengganggu kegiatan kalian. Tapi tak perlu melihatku sampai seserius itu. Jika otot mata kalian mengalami nyeri dan luka-luka saat terlalu serius melirikku, tolong jangan kirim surat tuntutan ke rumahku.

“Bagian menariknya, akan segera dimulai,” ujar Ovan yang tiba-tiba datang menghampiriku. Matanya kini tertuju pada dua remaja pria yang sedikit lebih tua dari kami.
Aku mengikuti arah mata Ovan. Kedua remaja pria itu mendatangi sebuah kelompok kecil yang sedang duduk tidak jauh dari tempat kami berdiri. Mereka bertikai dalam kata-kata. Itu yang saat ini bisa kubaca. Yang mereka debatkan adalah seputar lagu religi yang akan dibawakan untuk mengisi acara Isra’ Mi’raj yang akan segera diadakan. Yang satu menyarankan satu lagu, dan yang satu membiarkan kelompok itu memilih lagu yang akan dibawa. Huh. Hal sepele itu seharusnya tak perlu diperdebatkan. Apa saja bisa kau bawakan asalkan lagunya seputar tentang dakwah, kan? Apa mereka berdua itu orang bodoh?

“Ini yang kau maksud?” tanyaku pada Ovan. Dia menganggukkan kepala.

“Tapi, tak hanya itu, saja. Ayo kita lihat adegan selanjutnya.”

Kedua remaja pria itu meninggalkan perdebatannya dan melangkah ke kelompok yang berbeda. Salah satu remaja laki-laki itu memberikan masukan pada suatu kelompok. Berupa usulan menu makanan ringan untuk para undangan. Sepertinya kelompok yang bertugas dalam masalah konsumsi. Lalu yang satunya kembali datang untuk mendebatnya agar membiarkan kelompok itu yang memilih menunya sendiri. Pertikaian kembali. Lalu berakhir lagi tanpa ada keputusan yang jelas. Kelompok yang ditinggalkan itu pun mendengus tanpa bisa berbuat apa-apa. Kemudian salah satu dari mereka berdua mendatangi kelompok yang lain, lalu yang satunya kembali datang, dan kembali membuat perdebatan yang tak penting.

Aku menarik napas panjang dan membuangnya. “Kapan selesainya?”

“Itulah masalahnya,” jawab Ovan dengan cengiran yang memaksa.

“Mana ketuanya? Seharusnya dia yang memutuskan.”

“Itu juga masalahnya,” cengiran Ovan makin tak enak dilihat. “Ketua remaja mesjid ini sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu. Kemudian dua orang yang di sana itu mencalonkan diri sebagai kandidatnya.”

“Ha?” Aku menaruh rasa penasaran. “Lalu?”

“Hasil voting pemilihan berakhir seimbang. Kemudian dilakukan voting kedua, dan hasilnya sama saja. Sepertinya tak ada yang ingin merubah pilihannya.”

Yang patut disalahkan sebenarnya adalah jumlah anggota remaja mesjid kalian. Kenapa harus genap? Jelas saja bisa seimbang. Merepotkan saja.

“Lalu? Kenapa tidak mencalonkan kandidat yang lain saja sebagai ketua?”

“Tak ada yang berminat mencalonkan diri. Hanya mereka berdua yang ikhlas menjadi kandidat.”

Sebaiknya kalian semua juga ikhlas untuk membubarkan remaja mesjid kalian ini. Mereka ini sudah tahu penyebab masalahnya, tapi tak satu pun dari mereka yang ingin melangkah untuk mencari pemecahan masalahnya.

“Bagaimana denganmu? Kenapa tidak kau saja yang mencalonkan diri sebagai ketua?”

Ovan mengulas senyum. Kali ini senyumnya tampak lebih tulus dari yang tadi. “Kalau aku yang jadi ketua, takkan ada yang menarik.”

Manusia bejat! Dia ikut organisasi semacam ini hanya untuk menyaksikan hal-hal yang menarik? Ingatlah, ini organisasi keagamaan. Tempat untuk memperdalam ilmu agama dan menerapkannya dalam kehidupan.

“Lalu? Apa maksudmu memperlihatkanku hal semacam ini?” tanyaku sedikit sewot. Alasannya itu masih membuat pikiranku serasa tak nyaman.

“Ya, apalagi? Masa kau tak menyadarinya sih?”

Orang yang mengajakku ini tak layak disebut manusia. Ia lebih cocok disebut sebagai iblis. Iblis yang memakai kedok manusia untuk melihat sisi-sisi menarik dari manusia. Ia sengaja menarikku ke tempat ini agar aku bisa melakukan sesuatu yang bisa menghiburnya. Dia memang bejat dari hatinya.

“Nggak! Aku menolak. Aku bukan ikan yang mendatangi sebuah kail yang tak memiliki umpan. Aku pulang,” ujarku sambil berniat melangkah keluar dari mesjid.

“Kau yakin nggak mau memainkan ‘game’ ini? Menarik loh. Aku tahu otakmu pasti sudah terstimulasi untuk memecahkan masalah ini. Kau ingin membiarkannya tersimpan dalam otakmu?”

Ovan mulai memprovokasi. Meski aku benci, harus kuakui bahwa perkataannya memang benar. Setelah melihat permasalahan barusan, beberapa bagian di otakku sudah mencari penyelesaian masalah ini tanpa kuperintah. Bila kubiarkan begitu saja, kepalaku bisa sakit sendiri dibuatnya. Apa boleh buat.

“Ovan.”

“Ya?” jawabnya dengan senyuman liciknya itu.

“Setelah aku menyelesaikan persoalan ini. Kau harus membelikanku sebuah kaset game original di toko game langgananku.”

“Ha?!” raut wajahnya berubah. Pori-pori wajahnya seakan membesar untuk mengajukan unjuk rasa. “Ta-tapi harga kaset game original itu kan mahal. Apa tak ada tawaran lain?”

Kau kira aku yang jualan kasetnya? Tawar saja sana pada penjual kasetnya.

“Maaf saja, aku tak suka diperintah seenaknya atau bermain dalam ‘game’ yang sebenarnya bukan aku yang menikmati. Bila kau menginginkan sesuatu, kau harus mau membayarnya. Jangan harapkan sesuatu yang besar tanpa mengorbankan sesuatu.”

Sebenarnya aku tak terlalu yakin dengan yang kukatakan. Memangnya hal besar apa yang bisa kulakukan nanti? Bayangannya saja masih buram di benakku. Hanya saja, aku tak bisa membiarkan Ovan menggunakanku semaunya saja. Ini demi kebanggaan dan harga diriku. Meski kami adalah teman semasa kecil, bila ia bertindak terlalu jauh, aku tak boleh sungkan untuk menginjak-injaknya.

Ovan mendengus. Kemudian menepukkan sebelah tangannya ke atas bahuku. “Baiklah,” jawabnya. “Berikan aku pertunjukan yang menarik.”

*

Inti dari permasalahannya adalah karena perbedaam pendapat atau ketidakcocokan di antara dua kandidat ketua remaja mesjid ini. Keduanya selalu bertentangan. Keduanya seperti ingin menonjolkan keunggulannya masing-masing. Bocah! Mereka berdua bahkan lupa tujuan utama dari acara yang akan mereka selenggarakan.

Ovan mengajakku untuk mendatangi mereka berdua yang masih mendebatkan sesuatu. Masalah dekorasi tempat sepertinya. Memangnya mesjid ini ingin kalian hias seperti apa? Pelaminan pengantin?

“Maaf, Kak Geo, Kak Teo, aku ingin bicara sebentar,” ujar Ovan menengahi.

Geo? Teo? Mereka kembar? Masa? Kenapa wajahnya tak mirip? Yang mana yang Geo? Yang Teo? Apa mereka juga sering mendebatkan nama mereka juga yang hampir mirip ini? Atau mereka sebenarnya tak saling suka karena nama mereka hampir mirip? Atau mereka ingin sekali saling bertukar nama tetapi enggan karena keduanya menyembunyikan perasaannya masing-masing?

“Tunggu, Ovan. Apa kau tak lihat kalau kami sedang membicarakan sesuatu yang penting?” kata seorang yang entah bernama Geo atau Teo. Aku belum tahu yang mana.

“Dan juga jangan membawa orang asing seenaknya di hadapan kami,” kata seorang lagi yang entah bernama Geo atau Teo. Jujur aku bingung. Dan ini sungguh menggangguku.

“Karenanya, dengarkan dulu ucapanku. Aku justru ingin mengenalkan anggota baru. Dia ingin bergabung dengan remaja mesjid kita.”

“Ha?!” aku terperanjak. Tangan Ovan segera membungkam mulut dan kekagetanku. Ini sungguh di luar perkiraan. Aku tak pernah sekalipun berniat untuk bergabung dengan organisasi ini. Dan juga rasa penasaranku akan mana yang Geo dan mana yang Teo ini masih belum terjawab.

“Oh, anggota baru ya? Ya sudah, silakan catat namanya di daftar keanggotaan pada skretaris remaja mesjid,” kata yang seorang yang berkacamata. Dia ini Geo, atau Teo?

“Jangan seenaknya memerintah Ovan. Memangnya kau sudah jadi ketua?” bantah seorang lagi yang memiliki rahang terkesan sangar. Kurasa dia yang Geo. Tapi bisa juga dia yang Teo.

Cukup! Ovan sial ini bahkan tak memberitahuku yang mana Geo dan yang mana Teo sampai sekarang. Terlebih lagi dua nama ini bisa sebegitunya menyita seluruh pikiranku. Apa ketololan itu menular? Bila demikian, aku harus segera menyelesaikan masalah ini dan segera menjauhi mereka berdua. Dan juga sikap kedua orang ini sungguh membuatku muak. Bibirku yang mulai gatal ini tak bisa lagi kubiarkan diam begitu saja. Aku menarik sedikit napas panjang.

“Menjadi ketua remaja mesjid itu sangat sibuk ya? Bahkan menyapa anggota yang baru bergabung saja sulit. Pasti tugasnya berat.”

Kalimat itu tercuat juga dari mulutku. Efeknya langsung terlihat. Kini mata kedua orang itu tertuju padaku sambil tertegun. Raut wajah yang tegang tadi mengendur. Lalu hanyut dalam keheningan sesaat. Setidaknya kumohon, tolong jangan diam saja! Cepat beri tahu aku mana di antara kalian yang bernama Geo dan Teo!

“A-ah, iya, maafkan aku. Aku tak bermaksud begitu. Karena terlalu serius bicara, aku jadi lupa,” balas salah satu di antara mereka dengan alasan. “Lalu, siapa namanya ya?” tanyanya.

Tolong beritahu dulu namamu sebelum kau menanyakan nama seseorang! Kau ini Geo atau Teo! Aku sudah tak sabar dari tadi ingin tahu.

“Aku juga. Aku minta maaf. Iya, anggota baru kan, ya? Namanya siapa ya?” kata yang seorang lagi. Tiba-tiba saja mereka jadi kompak.

Sebutkan namamu! Sial! Aku sungguh penasaran. Tiap sel di otakku kini berteriak-teriak ingin tahu mana yang Geo dan mana yang Teo. Kalian ini sengaja membuatku penasaran hingga tetes susu kental manis terakhir?

Ah, menyabalkan. Sudahlah, sebaiknya aku saja yang cari tahu sendiri.

“Sebenarnya yang bernama Kak Geo yang mana?” tanyaku langsung karena tak ingin lagi berlama-lama menunggu jawabannya.

Seorang yang berahang tegas mengangkat tangannya. Berarti yang berkacamata adalah Teo.
“Namaku Ranka. Aku akan bergabung dengan organisasi remaja ini atas-.”

Sebelah kakiku ditendang kuat oleh Ovan. “Ah, aku lihat ada nyamuk tadi hinggap di betismu. Jadi kutendang saja, hahaha.”

Aku akan ingat dan membalas tendangan ini.

Pada akhirnya misteri ini sudah terpecahkan. Penantian panjang yang penuh uraian air mata dan keringat akan sesuatu yang tak penting dan tak ada manfaatnya terjawab sudah. Aku sudah tahu mana yang Geo dan mana yang Teo.

BERSAMBUNG ....

Part 2 nya menyusul ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar