Cinta adalah kebahagiaan sekaligus kesengsaraan. Cinta
mendatangkan perasaan senang tapi tak lupa mengajak penderitaan. Keduanya
selalu sepaket dan tak bisa dipisahkan. Orang-orang selalu berusaha mendapatkan
cinta, karena yang dibenaknya hanyalah kebahagiaan. Mereka kerap sekali lupa
bahwa penderitaan selalu membuntuti kebahagiaan itu dari bayangan. Orang-orang
akan tersadar bila penderitaan itu sudah menunjukkan dirinya saat kebahagiaan
pergi entah ke mana.
Lantas, apakah manusia berhenti sampai di situ? Tidak.
Manusia adalah makhluk masokis. Tak peduli berapa kali pun penderitaan itu
datang karena cinta, manusia masih terus berusaha mengejarnya.
Tanganku masih saja sibuk menekan-nekan tombol joypad
PlayStation-ku. Aku sedang memainkan game Monster Hunter kali ini. Quest yang kuambil adalah membunuh
Rathalos dan Rathian – sepasang naga paling buas di game ini. Hanya saja,
keasyikanku ini terusik saat layar di tv-ku berubah menjadi hitam.
“Ranka,” sapa seseorang yang tiba-tiba muncul di
kamarku, duduk di sebelahku dengan posisi telunjuknya menekan tombol power PlayStation-ku. Wajahnya
cengengesan. Aku ingin membunuhnya saat ini juga.
Aku sengaja tak menutup dan mengunci kamarku karena
aku yakin semua pintu luar sudah kukunci. Lagipula aku sedang sendirian.
“Dari mana kau masuk?” tanyaku sinis.
“Dari depan,” jawabnya santai.
“Seingatku pintunya terkunci.”
“Aku punya kunci cadangan yang sengaja aku duplikat
diam-diam.”
Sepupu laknat. Biadab. Kurang ajar. Berani-beraninya
bertingkah seenaknya di hadapanku. Aku menyesal kau bisa terlahir di dunia ini
dengan cara normal. Aku lebih suka bila kau dilahirkan seperti membuang kotoran
di WC.
“Jadi, apa maumu? Paling-paling kau hanya ingin
membagikanku masalah setelah kau membuat masalah denganku.”
“Tepat. Kau tahu saja, Ranka. Kau seperti bisa membaca
pikiran saja. Ada yang ingin kukonsultasikan denganmu,” ungkap anak yang
bernama Lepi ini.
Lepi adalah sepupuku yang paling pekerja keras. Ia
selalu berusaha mendapatkan apa pun tanpa pernah kenal menyerah. Apa pun.
Termasuk meminta bantuan dari seseorang. Bila tak dikabulkan, ia akan terus
meneror dan menghantui hingga permintaannya dipenuhi. Kalau ia sudah bilang
ingin berkonsultasi, aku harus segera mengiyakannya sebelum ia berbuat hal yang
macam-macam yang bisa semakin merugikanku. Dia benar-benar pekerja keras yang
teramat menyebalkan.
“Apa yang ingin kau konsultasikan? Cepatlah. Aku tak
banyak waktu. Sehabis ini aku harus memberi makan ternak,” ucapku berbohong.
“Tenang saja, aku akan membunuh semua ternakmu jadi
kau tak perlu pusing memberikan makanan pada mereka.”
Itu dia. Itu dia! Kata-kata pamungkas sang pekerja
keras yang bisa memaksamu untuk mengabulkan keinginannya.
“Haaaaah, ya sudah, cepat ceritakan,” dengusku kesal.
Lepi merubah wajahnya menjadi sendu seperti orang
frustasi yang ingin diselamatkan. Memuakkan. Rasanya ingin kusiram wajahnya itu
dengan minuman pelancar buang air besar.
“Begini, Ranka. Saat ini aku sedang mnyukai seseorang.
Dan rasanya sangat sulit untuk kudapatkan. Meski terkadang aku ingin menyerah
karena terlalu sakit yang kurasakan, tapi di sisi lain aku ingin terus
memperjuangkannya. Aku percaya suatu saat nanti, perasaanku akan tersampaikan
padanya. Aku yakin dengan semua ketulusan dan keseriusanku, dia pasti jatuh ke
tanganku.”
Oy, sebenarnya dia ini sedang konsultasi atau ceramah?
Dia bertanya, tapi dia sendiri sudah punya jawabannya. Apa maksudnya? Apa dia
sedang berkonsultasi dengan diri sendiri? Atau dia sedang latihan drama? Atau
sedang berkonsultasi dalam drama?
“Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?” lanjutnya.
Aku baru teringat. Tak peduli betapa gigih dan pekerja
kerasnya ia terhadap sesuatu, ia selalu lemah dalam urusan percintaan.
“Lakukan saja sesukamu. Aku tak mengerti tentang
masalah yang sudah kau pecahkan sendiri,” jawabku ketus.
“Ayolah, Ranka. Aku butuh komentarmu.”
“Oh itu tadi status, ya? Nge-like aja ga bisa? Agak
malas rasanya mau kasi komen.”
“Facebook kaleeee, di-like. Serius ini!”
Aku menguap sambil menggaruk-garuk bagian belakang
kepalaku. Kata-kata Lepi barusan benar-benar membuatku mengantuk.
“Yang bisa kusimpulkan darimu adalah kau terlalu naif.
Kau selalu memandang segala sesuatunya dengan hasil yang sesuai dengan harapanmu.
Tulus? Kau tahu arti dari tulus? Tulus yang kupahami secara konteks adalah tak
mengharapkan balasan apa-apa. Kau yakin ingin cintamu tak berbalas? Tulus juga berarti siap dengan apapun balasan yang akan kau terima. Kemungkinan terburuknya
ia bisa saja tak membalas cintamu. Apa yang akan kau lakukan bila demikian? Apa
kau sudah memikirkannya?”
Lepi tak menyahut, bibirnya yang kemerahan setelah
menyantap cemilan pedasku yang seenaknya dimakannya itu masih bungkam.
“Perjuangan?” lanjutku. “Seperti apa? Apa kau sedang
memaksakan kehendakmu? Atau kau terlalu terburu-buru mengejarnya? Semuanya
butuh proses. Kau tak perlu berjuang. Kau hanya butuh cara untuk memikatnya.
Untuk cara memikatnya, kau harus pikirkan sendiri sesuai dengan karakter orang
yang kausukai. Kau harus pintar membaca hatinya. Sesuatu yang terkesan
dipaksakan dan terburu-buru akan membuahkan hasil yang jelek. Bahkan suatu
adonan kue sekalipun butuh waktu yang pas untuk memanggangnya agar hasilnya
baik.”
“Tapi ...,” Lepi berusaha memberikan tanggapan lain. “Dia
menghargai kehadiranku di sisinya. Dia hanya trauma dengan kekasihnya yang
dulu. Dia begitu perhatian pada mantan kekasihnya, tapi dia justru dikhianati
dan disakiti. Akibatnya, ia sedikit bersikap cuek. Masih takut dengan masa
lalu. Tapi bukan berarti ia tak menerimaku.”
Membosankan. Sejujurnya aku ingin segera
meninggalkannya. Namun mataku menangkap gerak tangan Lepi yang kini sudah
menyentuh tumpukan kaset game-ku. Aku yakin ia akan langsung meremukkan kaset
itu bila aku tiba-tiba beranjak dari tempat ini. Sungguh menyebalkan!
“Jika dia menceritakan masa lalunya padamu,
kemungkinan ada dua. Dia berharap kau segera menjauhinya, atau dia berharap
agar kau bisa membantunya untuk bangkit dari rasa traumanya. Kau harus pastikan
dulu yang mana. Bisa kau tanyakan secara tak langsung seperti ‘Hei, aku ingin
membantumu lepas dari masa lalu, atau aku ingin membantumu sembuh dari
traumamu’. Kira-kira seperti itu. Lalu lihat jawabannya. Setelah itu kau bisa
ambil langkah selanjutnya.”
“Begitu, ya? Menarik juga idemu,” ujarnya sambil
manggut-manggut.
Aku tak butuh pujianmu. Yang kubutuhkan saat ini
segeralah kau puas dan cepat keluar dari kamarku.
“Yang terpenting,” lanjutku. Sial! Bibirku bergerak
sendiri lagi tanpa kuperintah. Beginilah kalau aku sudah memberi masukan. “Kau tak perlu merutuki hal yang sudah kauusahakan bila
sesuatu yang terjadi tak sesuai dengan harapanmu. Perlu diingat, di dalam cinta
ada sepasang rasa yang selalu berdampingan. Rasa senang dan rasa sakit. Entah
rasa mana yang akan kau dapatkan nanti, terima saja. Kedua rasa itu akan selalu
menemani secara bergantian agar hidupmu tak terasa hambar.”
Sudut bibir Lepi terangkat sambil meletetakkan kaset-kaset game-ku yang
digenggamnya ke tempat semula. Secercah rasa aman menggelayuti. Aku belum bisa
merasa lega sepenuhnya sebelum ia benar-benar keluar dari kamarku.
“Aaa ... baiklah. Kucoba saranmu. Masuk akal kok.” Ia
mengangkat tubuhnya dan segera melangkah ke arah pintu. Tampak wajahnya sudah
sedikit tenang. Hanya wajahnya. Aku tak peduli dengan yang ada di benaknya.
“Aku pulang ya, Ranka,” ujarnya lalu hilang dari pandangan.
Itu yang sejak tadi aku tunggu-tunggu. Seharusnya
memang kau tak usah datang. Dan juga,” UCAPKAN TERIMA KASIH SEBELUM KAU PULANG,
SEPUPU BIADAP!!!”
P.S.
Terima kasih. Semoga puas dengan jawabannya. Kalau
belum puas, puas-puaskan aja. Bila ada yang ingin bertanya atau konsultasi,
bisa tinggalkan di kolom komentar atau hubungi saya langsung di @nyoosama. Biar
nanti saya, err ... Ranka yang menjawabnya lewat rubrik tanya Ranka atau dalam
bentuk cerita. Terima Kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar