Kamis, 21 Mei 2015

Saat Keasyikanku Terusik oleh Masalah Asmara

Cinta adalah kebahagiaan sekaligus kesengsaraan. Cinta mendatangkan perasaan senang tapi tak lupa mengajak penderitaan. Keduanya selalu sepaket dan tak bisa dipisahkan. Orang-orang selalu berusaha mendapatkan cinta, karena yang dibenaknya hanyalah kebahagiaan. Mereka kerap sekali lupa bahwa penderitaan selalu membuntuti kebahagiaan itu dari bayangan. Orang-orang akan tersadar bila penderitaan itu sudah menunjukkan dirinya saat kebahagiaan pergi entah ke mana.

Lantas, apakah manusia berhenti sampai di situ? Tidak. Manusia adalah makhluk masokis. Tak peduli berapa kali pun penderitaan itu datang karena cinta, manusia masih terus berusaha mengejarnya.

Tanganku masih saja sibuk menekan-nekan tombol joypad PlayStation-ku. Aku sedang memainkan game Monster Hunter kali ini. Quest yang kuambil adalah membunuh Rathalos dan Rathian – sepasang naga paling buas di game ini. Hanya saja, keasyikanku ini terusik saat layar di tv-ku berubah menjadi hitam.

“Ranka,” sapa seseorang yang tiba-tiba muncul di kamarku, duduk di sebelahku dengan posisi telunjuknya menekan tombol power PlayStation-ku. Wajahnya cengengesan. Aku ingin membunuhnya saat ini juga.

Aku sengaja tak menutup dan mengunci kamarku karena aku yakin semua pintu luar sudah kukunci. Lagipula aku sedang sendirian.

“Dari mana kau masuk?” tanyaku sinis.

“Dari depan,” jawabnya santai.

“Seingatku pintunya terkunci.”

“Aku punya kunci cadangan yang sengaja aku duplikat diam-diam.”

Sepupu laknat. Biadab. Kurang ajar. Berani-beraninya bertingkah seenaknya di hadapanku. Aku menyesal kau bisa terlahir di dunia ini dengan cara normal. Aku lebih suka bila kau dilahirkan seperti membuang kotoran di WC.

“Jadi, apa maumu? Paling-paling kau hanya ingin membagikanku masalah setelah kau membuat masalah denganku.”

“Tepat. Kau tahu saja, Ranka. Kau seperti bisa membaca pikiran saja. Ada yang ingin kukonsultasikan denganmu,” ungkap anak yang bernama Lepi ini.

Lepi adalah sepupuku yang paling pekerja keras. Ia selalu berusaha mendapatkan apa pun tanpa pernah kenal menyerah. Apa pun. Termasuk meminta bantuan dari seseorang. Bila tak dikabulkan, ia akan terus meneror dan menghantui hingga permintaannya dipenuhi. Kalau ia sudah bilang ingin berkonsultasi, aku harus segera mengiyakannya sebelum ia berbuat hal yang macam-macam yang bisa semakin merugikanku. Dia benar-benar pekerja keras yang teramat menyebalkan.

“Apa yang ingin kau konsultasikan? Cepatlah. Aku tak banyak waktu. Sehabis ini aku harus memberi makan ternak,” ucapku berbohong.

“Tenang saja, aku akan membunuh semua ternakmu jadi kau tak perlu pusing memberikan makanan pada mereka.”

Itu dia. Itu dia! Kata-kata pamungkas sang pekerja keras yang bisa memaksamu untuk mengabulkan keinginannya.

“Haaaaah, ya sudah, cepat ceritakan,” dengusku kesal.

Lepi merubah wajahnya menjadi sendu seperti orang frustasi yang ingin diselamatkan. Memuakkan. Rasanya ingin kusiram wajahnya itu dengan minuman pelancar buang air besar.

“Begini, Ranka. Saat ini aku sedang mnyukai seseorang. Dan rasanya sangat sulit untuk kudapatkan. Meski terkadang aku ingin menyerah karena terlalu sakit yang kurasakan, tapi di sisi lain aku ingin terus memperjuangkannya. Aku percaya suatu saat nanti, perasaanku akan tersampaikan padanya. Aku yakin dengan semua ketulusan dan keseriusanku, dia pasti jatuh ke tanganku.”

Oy, sebenarnya dia ini sedang konsultasi atau ceramah? Dia bertanya, tapi dia sendiri sudah punya jawabannya. Apa maksudnya? Apa dia sedang berkonsultasi dengan diri sendiri? Atau dia sedang latihan drama? Atau sedang berkonsultasi dalam drama?

“Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?” lanjutnya.

Aku baru teringat. Tak peduli betapa gigih dan pekerja kerasnya ia terhadap sesuatu, ia selalu lemah dalam urusan percintaan.

“Lakukan saja sesukamu. Aku tak mengerti tentang masalah yang sudah kau pecahkan sendiri,” jawabku ketus.

“Ayolah, Ranka. Aku butuh komentarmu.”

“Oh itu tadi status, ya? Nge-like aja ga bisa? Agak malas rasanya mau kasi komen.”

“Facebook kaleeee, di-like. Serius ini!”

Aku menguap sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalaku. Kata-kata Lepi barusan benar-benar membuatku mengantuk.

“Yang bisa kusimpulkan darimu adalah kau terlalu naif. Kau selalu memandang segala sesuatunya dengan hasil yang sesuai dengan harapanmu. Tulus? Kau tahu arti dari tulus? Tulus yang kupahami secara konteks adalah tak mengharapkan balasan apa-apa. Kau yakin ingin cintamu tak berbalas? Tulus juga berarti siap dengan apapun balasan yang akan kau terima. Kemungkinan terburuknya ia bisa saja tak membalas cintamu. Apa yang akan kau lakukan bila demikian? Apa kau sudah memikirkannya?”

Lepi tak menyahut, bibirnya yang kemerahan setelah menyantap cemilan pedasku yang seenaknya dimakannya itu masih bungkam.

“Perjuangan?” lanjutku. “Seperti apa? Apa kau sedang memaksakan kehendakmu? Atau kau terlalu terburu-buru mengejarnya? Semuanya butuh proses. Kau tak perlu berjuang. Kau hanya butuh cara untuk memikatnya. Untuk cara memikatnya, kau harus pikirkan sendiri sesuai dengan karakter orang yang kausukai. Kau harus pintar membaca hatinya. Sesuatu yang terkesan dipaksakan dan terburu-buru akan membuahkan hasil yang jelek. Bahkan suatu adonan kue sekalipun butuh waktu yang pas untuk memanggangnya agar hasilnya baik.”

“Tapi ...,” Lepi berusaha memberikan tanggapan lain. “Dia menghargai kehadiranku di sisinya. Dia hanya trauma dengan kekasihnya yang dulu. Dia begitu perhatian pada mantan kekasihnya, tapi dia justru dikhianati dan disakiti. Akibatnya, ia sedikit bersikap cuek. Masih takut dengan masa lalu. Tapi bukan berarti ia tak menerimaku.”

Membosankan. Sejujurnya aku ingin segera meninggalkannya. Namun mataku menangkap gerak tangan Lepi yang kini sudah menyentuh tumpukan kaset game-ku. Aku yakin ia akan langsung meremukkan kaset itu bila aku tiba-tiba beranjak dari tempat ini. Sungguh menyebalkan!

“Jika dia menceritakan masa lalunya padamu, kemungkinan ada dua. Dia berharap kau segera menjauhinya, atau dia berharap agar kau bisa membantunya untuk bangkit dari rasa traumanya. Kau harus pastikan dulu yang mana. Bisa kau tanyakan secara tak langsung seperti ‘Hei, aku ingin membantumu lepas dari masa lalu, atau aku ingin membantumu sembuh dari traumamu’. Kira-kira seperti itu. Lalu lihat jawabannya. Setelah itu kau bisa ambil langkah selanjutnya.”

“Begitu, ya? Menarik juga idemu,” ujarnya sambil manggut-manggut.

Aku tak butuh pujianmu. Yang kubutuhkan saat ini segeralah kau puas dan cepat keluar dari kamarku.

“Yang terpenting,” lanjutku. Sial! Bibirku bergerak sendiri lagi tanpa kuperintah. Beginilah kalau aku sudah memberi masukan. “Kau tak perlu merutuki hal yang sudah kauusahakan bila sesuatu yang terjadi tak sesuai dengan harapanmu. Perlu diingat, di dalam cinta ada sepasang rasa yang selalu berdampingan. Rasa senang dan rasa sakit. Entah rasa mana yang akan kau dapatkan nanti, terima saja. Kedua rasa itu akan selalu menemani secara bergantian agar hidupmu tak terasa hambar.”

Sudut bibir Lepi terangkat  sambil meletetakkan kaset-kaset game-ku yang digenggamnya ke tempat semula. Secercah rasa aman menggelayuti. Aku belum bisa merasa lega sepenuhnya sebelum ia benar-benar keluar dari kamarku.

“Aaa ... baiklah. Kucoba saranmu. Masuk akal kok.” Ia mengangkat tubuhnya dan segera melangkah ke arah pintu. Tampak wajahnya sudah sedikit tenang. Hanya wajahnya. Aku tak peduli dengan yang ada di benaknya. “Aku pulang ya, Ranka,” ujarnya lalu hilang dari pandangan.

Itu yang sejak tadi aku tunggu-tunggu. Seharusnya memang kau tak usah datang. Dan juga,” UCAPKAN TERIMA KASIH SEBELUM KAU PULANG, SEPUPU BIADAP!!!”


P.S.


Terima kasih. Semoga puas dengan jawabannya. Kalau belum puas, puas-puaskan aja. Bila ada yang ingin bertanya atau konsultasi, bisa tinggalkan di kolom komentar atau hubungi saya langsung di @nyoosama. Biar nanti saya, err ... Ranka yang menjawabnya lewat rubrik tanya Ranka atau dalam bentuk cerita. Terima Kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar