Senin, 25 Mei 2015

Pada Akhirnya, Ia Hanya Berpegangan pada Waktu






Matematika, Fisika, Kimia, ketiga PR dari pelajaran ini baru saja kuselesaikan. Kalian tak pernah berpikir kalau aku ini sudah dewasa, kan? Aku adalah seorang pelajar SMA kelas dua yang masih berusia enam belas tahun. Tidak seperti anak pada umumnya, setiap hari Minggu aku malah lebih sering mengerjakan tugas-tugas sekolah daripada bermain di luar. Alasannya adalah karena tak banyak yang kusukai di luar sana. Aku bahkan sama sekali tak menyukai olahraga, karenanya aku tak bisa memainkan olahraga apa pun. Entah apa gunanya kegiatan semacam olahraga itu diciptakan. Sungguh membuang-buang tenaga dan waktu bersantai.

Aku baru saja hendak merapikan buku-bukuku di atas meja belajarku. Sedikit kubenturkan di atas meja untuk sekedar merapikannya. Lalu telingaku menangkap sebuah deritan pada kenop pintu kamarku. Kenop berputar diikuti dengan gerak pintu yang membuka. Dari balik pintu itu, menyembul sesosok wajah yang baru-baru ini menemuiku. Buku-buku yang masih di tanganku itu pun meluncur indah dari genggamanku dengan efek slow motion seiring dengan perubahan raut wajahku. Lepi. Ia muncul berbinar-binar.

Dia masuk tanpa memedulikan aku yang sebenarnya tak suka atas kedatangannya ke kamarku. Dia bahkan tega mengabaikan efek slow motion yang terjadi padaku saat aku melihatnya. Padahal seharusnya, setelah ini aku ingin memainkan kekasihku – game Valkyrie Prifile 2: Silmeria – yang sedang menjalankan misi di Seraphic Gate. Lenneth, Silmeria, dan Alice pasti kecewa kalau aku tak sempat memainkan mereka hari ini.

“Apa lagi sekarang? Kau ini nggak pernah bosan membuat orang lain kerepotan?” tanyaku ketus.

“Nggak, nggak, saat ini aku hanya ingin berbagi kisahku padamu, Ranka,” jawabnya berbunga-bunga.

“Kisah apa? Kisah perjuanganmu melawan kematian namun akhirnya mati juga secara mengenaskan walau sekeras apa pun usahamu untuk berjuang. Kapan itu terjadi? Aku tak sabar menantikannya.”

“Bukan, bukan. Ini kisah bahagia sekaligus penantianku. Kau pasti senang mendengarnya.”
“Hahaha, kau bercanda, Kisanak? Kau cuma hidup sehat tanpa melakukan apa pun saja udah bikin orang sakit hati. Malah kau ingin cerita. Pergi!”

“Ayolah, Ranka. Kau tak perlu malu-malu.” Ia menarik lenganku dengan paksa untuk mengajakku duduk di atas kasurku. Cengkeraman tangannya barusan menyisakan jejak kemerahan di pergelangan tanganku. Ini pertanda ia akan menghabisiku kalau aku tak menuruti permintaannya. Aku tak ingin dengar. Sungguh.

“Begini, ini tentang masalahku kemarin. Aku ingin melanjutkannya.”

Sumpah, aku sama sekali tak ingin tahu. Kemudian Lepi mulai bercerita.

POV Lepi

Kisah ini di mulai saat awal musim semi lalu. Tinas-tunas berdaun hijau muda bergoyang saat angin mengajaknya menari.

Musim semi di bagian mana? Kau yakin sudah memasang otakmu dengan benar?

Suatu hari aku bertemu dengan seorang gadis di sebuah kafe. Sorot matanya tajam, indah, dengan rambut panjang hitam bergelombang. Aku sudah mulai suka saat pandangan pertama. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya hanya untuk sekedar mengamatinya. Namun saat ia berbalik menatapku, aku segera mengalihkan pandangan ke arah lain. Sebenarnya aku masih ingin memendam rasa ini. Hingga akhirnya aku menyerah. Aku tak bisa berbohong bahwa dia selalu mengambil alih pikiranku. Kuputuskan untuk meminta pin bbmnya pada temannya yang sekaligus juga temanku.

Hah? Perkenalan yang klise. Terlalu biasa. Sudah sering di mana-mana. Akan lebih keren bila kau pertama kali bertemu dengannya di area pemakaman umum. Lalu meminta pin bbmnya pada penjaga kuburan yang ada di situ. Kemudian minta comblangin sama tukang gali kubur setempat. Pasti kau akan segera mendapatkan hati gebetanmu itu dan bonus papan nisan cantik berhologram.

Begitulah, kami memulai kedekatan kami melalui sosial media. Detik demi menit, jam demi hari, kami selalu mengisi ulang paket kami tepat waktu agar tak terputus jalinan yang baru saja kami bentuk. Sikapnya tak begitu peduli dan mengabaikanku memang menjadi tantangan terberatku. Berulang kali juga ada bisikan-bisikan halus yang menyuruhku untuk mundur dan menyerah. Hanya saja, kepedulianku terhadapnya seperti membuahkan hasil. Ia mulai peduli padaku.

Namanya Anna.

Suatu ketika, aku dan temannya mengatur sebuah rencana untuk mempererat hubungan tanpa sepengetahuan dia. Dalam sebuah kafe di pinggir jalan, ia terkejut saat ia tahu aku tiba-tiba muncul dan duduk di dekatnya. Suasana pun masih canggung. Smartphone di tangan jadi pelampiasan untuk menghilangkan kecanggungan di antara kami berdua. Aku sedikit tersentak saat tiba-tiba suara beningnya itu terlontar dari bibirnya. Beberapa hal dipertanyakannya. Lambat laun obrolan mengalir menjadi hangat. Sedikitnya aku merasa menyesal. Sebagai seorang laki-laki, seharusnya aku lah yang berusaha mencairkan suasana. Bukan dia.

Lagi-lagi di kafe? Ttakuh! Dasar bocah. Tak punya inisiatif dan ide brilliant. Kalau aku jadi kau, aku akan mengatur tempat pertemuan di sebuah tempat di luar ruangan di bawah malam berbintang. Hanya ada satu meja dan dua kursi berhadapan untuk aku dan dia. Di tengah meja terdapat lampu-lampu hias kecil berbentuk tengkorak. Aku akan mengenakan jas dan menyuruhnya mengenakan baju gamis. Dan saat makanan tersaji, serta obrolan yang semakin romantis. Hujan deras turun.

Tanpa sepengetahuanku, ia berbicara dengan temannya perihal tentangku. Sepertinya ia mulai tertarik dan mencari tahu tentangku. Ini suatu kemajuan yang pesat. Kedekatan kami semakin bertambah. Kami semakin terasa akrab. Banyak hal yang tak penting yang kami bicarakan tapi tetap terasa manis. Hingga suatu kali aku mengajaknya untuk melakukan photo session di sebuah studio foto. Anna setuju walau ia sedikit malu. Ini adalah saat-saat indahku dengannya. Kami bukan lagi seperti dua orang yang sedang kasmaran. Malah lebih tepat disebut dua orang yang akan segera menuju ke pelaminan.

Haha ... foto-foto di studio? Mau perpanjang KTP? Sejujurnya aku rada kesal mendengar ceritanya di bagian ini. Aku berharap remote pemutar dvd dengan tombol fast forward-nya bisa berfungsi pada manusia. Agar Lepi bisa segera menyelesaikan ceritanya secepat kentut meraba hidung.

Selang seminggu kemudian, aku mengajaknya dinner berdua. Sipit – begitu aku memanggilnya – jauh lebih asyik saat ditemui secara langsung daripada hanya sekedar chating lewat sosmed. Kesan cueknya itu masih sering kurasakan. Tekadku yang masih maju-mundur untuk mempertahankannya selalu datang bergantian. Aku tak ingin perjuanganku ini berakhir sia-sia. Pada akhirnya, rasa yang selama ini kupendam kuungkapkan juga.

Ow, aku semakin mengantuk.

Anna memang tak menjawab pengakuanku secara jelas. Akan tetapi, masih ada harapan yang tersembunyi di balik semua perkataannya. Aku masih ingin memperjuangkan rasa ini. Mungkin kedengarannya bodoh ya? Perasaan ini tak mungkin kubiarkan lepas begitu mudahnya. Aku masih ingin terus merasakan perasaan hangat yang mengalir ini di setiap denyut dan aliran darahku. Meski kami belum sepenuhnya bersatu,  bersama waktu, aku akan terus mengikis bendungan yang masih menutup relung hatinya.

Wah, heroik sekali. Persis seperti film yang kemarin kutonton. Judulnya kupinang kau dengan sirup Marjan. Tiba-tiba aku teringat kalau sebentar lagi puasa. Sepertinya aku harus meminta uang saku tambahan dari Ibu demi membeli buku yang berkaitan tentang agama. Aku rada penasaran dengan buku Sejarah Tuhan oleh Karen Armstrong dan The Templar Revelation.

“Jadi gimana ceritaku? Cukup mengharukan, kan? Belum lagi kabarnya dia bakal melanjutkan studi ke luar kota. Ini seperti tantanganku semakin banyak,” ujar Lepi mengakhiri ceritanya. Dan kini sudut pandang cerita beralih lagi padaku.

Tanpa kuperintah, bola mataku memandangi wajah Lepi yang terlihat muram. Memuakkan. Seolah-olah dia yang paling menderita di muka bumi ini. Anda ia tahu penderitaan para jomlo yang tak pernah punya kesempatan mendekati seorang gadis di luar sana.

“Membosankan,” aku mulai berkomentar. “Tak ada yang perlu kukomentari dari ceritamu.  Kau sudah melakukan yang kaubisa. Tugasmu selanjutnya adalah memahami wanita. Perhatian saja tak cukup untuk meluluhkan hati seorang wanita. Yang jadi masalahnya adalah wanita adalah spesies mengerikan yang sulit ditebak. Semakin kau berusaha memahaminya, semakin sulit ia dipahami. Hal itu terserah padamu bagaimana melakukannya. Aku tak ingin ikut campur.”

“Kalau begitu, langkah awal yang harus kulakukan apa?”

Aku bangkit dari dudukku dan langsung menarik tangan Lepi secepatnya. Dengan memanfaatkan kondisinya yang masih bingung itu, aku pun berkata, “Langkah awalnya adalah keluar dari kamarku!” Kutolak tubuhnya dengan kuat hingga ia terlempar ke luar dari kamarku. Secapat itu juga kututup rapat pintu kamar dan menguncinya.

Tak ada kicauan dari Lepi. Syukurlah ia mengerti dan hengkang dari kamarku. Pada dasarnya, manusia memang makhluk tak sabaran yang selalu ingin mendapatkan apa yang ia mau dengan cepat. Terlebih jika menyangkut soal cinta. Beberapa orang menghargai proses dengan cara menikmatinya. Aku menyebut golongan orang-orang ini sebagai pemalas yang tak punya motivasi. Beberapa orang lagi melupakan prosesnya dengan terus-menerus tak menyerah untuk lebih cepat meraihnya. Aku menamakan golongan ini sebagai pemaksa yang memuakkan. Dan aku bukan tipe di antara keduanya. Aku adalah tipe pemalas yang bisa mendapatkan apapun dengan cepat.

Lalu sebenarnya, sejauh apa hubungan manusia dengan cinta itu sendiri? Apakah cinta adalah mainan bagi manusia? Bila demikian, seharusnya cinta itu hanya menghibur dan tak menyakitkan. Ataukah cinta yang memainkan manusia? Bila begitu, artinya manusia tak punya kendali atas cinta. Kedua pertanyaan itu tak perlu dijawab. Cinta adalah perasaan yang mengalir begitu saja tapi jangan biarkan ia mengalir sesuka hatinya. Manusia memegang kendali sepenuhnya. Bila kau tak bisa mengendalikannya, jadilah boneka sampah yang diperbudak oleh cinta.

Kamis, 21 Mei 2015

Saat Keasyikanku Terusik oleh Masalah Asmara

Cinta adalah kebahagiaan sekaligus kesengsaraan. Cinta mendatangkan perasaan senang tapi tak lupa mengajak penderitaan. Keduanya selalu sepaket dan tak bisa dipisahkan. Orang-orang selalu berusaha mendapatkan cinta, karena yang dibenaknya hanyalah kebahagiaan. Mereka kerap sekali lupa bahwa penderitaan selalu membuntuti kebahagiaan itu dari bayangan. Orang-orang akan tersadar bila penderitaan itu sudah menunjukkan dirinya saat kebahagiaan pergi entah ke mana.

Lantas, apakah manusia berhenti sampai di situ? Tidak. Manusia adalah makhluk masokis. Tak peduli berapa kali pun penderitaan itu datang karena cinta, manusia masih terus berusaha mengejarnya.

Tanganku masih saja sibuk menekan-nekan tombol joypad PlayStation-ku. Aku sedang memainkan game Monster Hunter kali ini. Quest yang kuambil adalah membunuh Rathalos dan Rathian – sepasang naga paling buas di game ini. Hanya saja, keasyikanku ini terusik saat layar di tv-ku berubah menjadi hitam.

“Ranka,” sapa seseorang yang tiba-tiba muncul di kamarku, duduk di sebelahku dengan posisi telunjuknya menekan tombol power PlayStation-ku. Wajahnya cengengesan. Aku ingin membunuhnya saat ini juga.

Aku sengaja tak menutup dan mengunci kamarku karena aku yakin semua pintu luar sudah kukunci. Lagipula aku sedang sendirian.

“Dari mana kau masuk?” tanyaku sinis.

“Dari depan,” jawabnya santai.

“Seingatku pintunya terkunci.”

“Aku punya kunci cadangan yang sengaja aku duplikat diam-diam.”

Sepupu laknat. Biadab. Kurang ajar. Berani-beraninya bertingkah seenaknya di hadapanku. Aku menyesal kau bisa terlahir di dunia ini dengan cara normal. Aku lebih suka bila kau dilahirkan seperti membuang kotoran di WC.

“Jadi, apa maumu? Paling-paling kau hanya ingin membagikanku masalah setelah kau membuat masalah denganku.”

“Tepat. Kau tahu saja, Ranka. Kau seperti bisa membaca pikiran saja. Ada yang ingin kukonsultasikan denganmu,” ungkap anak yang bernama Lepi ini.

Lepi adalah sepupuku yang paling pekerja keras. Ia selalu berusaha mendapatkan apa pun tanpa pernah kenal menyerah. Apa pun. Termasuk meminta bantuan dari seseorang. Bila tak dikabulkan, ia akan terus meneror dan menghantui hingga permintaannya dipenuhi. Kalau ia sudah bilang ingin berkonsultasi, aku harus segera mengiyakannya sebelum ia berbuat hal yang macam-macam yang bisa semakin merugikanku. Dia benar-benar pekerja keras yang teramat menyebalkan.

“Apa yang ingin kau konsultasikan? Cepatlah. Aku tak banyak waktu. Sehabis ini aku harus memberi makan ternak,” ucapku berbohong.

“Tenang saja, aku akan membunuh semua ternakmu jadi kau tak perlu pusing memberikan makanan pada mereka.”

Itu dia. Itu dia! Kata-kata pamungkas sang pekerja keras yang bisa memaksamu untuk mengabulkan keinginannya.

“Haaaaah, ya sudah, cepat ceritakan,” dengusku kesal.

Lepi merubah wajahnya menjadi sendu seperti orang frustasi yang ingin diselamatkan. Memuakkan. Rasanya ingin kusiram wajahnya itu dengan minuman pelancar buang air besar.

“Begini, Ranka. Saat ini aku sedang mnyukai seseorang. Dan rasanya sangat sulit untuk kudapatkan. Meski terkadang aku ingin menyerah karena terlalu sakit yang kurasakan, tapi di sisi lain aku ingin terus memperjuangkannya. Aku percaya suatu saat nanti, perasaanku akan tersampaikan padanya. Aku yakin dengan semua ketulusan dan keseriusanku, dia pasti jatuh ke tanganku.”

Oy, sebenarnya dia ini sedang konsultasi atau ceramah? Dia bertanya, tapi dia sendiri sudah punya jawabannya. Apa maksudnya? Apa dia sedang berkonsultasi dengan diri sendiri? Atau dia sedang latihan drama? Atau sedang berkonsultasi dalam drama?

“Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?” lanjutnya.

Aku baru teringat. Tak peduli betapa gigih dan pekerja kerasnya ia terhadap sesuatu, ia selalu lemah dalam urusan percintaan.

“Lakukan saja sesukamu. Aku tak mengerti tentang masalah yang sudah kau pecahkan sendiri,” jawabku ketus.

“Ayolah, Ranka. Aku butuh komentarmu.”

“Oh itu tadi status, ya? Nge-like aja ga bisa? Agak malas rasanya mau kasi komen.”

“Facebook kaleeee, di-like. Serius ini!”

Aku menguap sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalaku. Kata-kata Lepi barusan benar-benar membuatku mengantuk.

“Yang bisa kusimpulkan darimu adalah kau terlalu naif. Kau selalu memandang segala sesuatunya dengan hasil yang sesuai dengan harapanmu. Tulus? Kau tahu arti dari tulus? Tulus yang kupahami secara konteks adalah tak mengharapkan balasan apa-apa. Kau yakin ingin cintamu tak berbalas? Tulus juga berarti siap dengan apapun balasan yang akan kau terima. Kemungkinan terburuknya ia bisa saja tak membalas cintamu. Apa yang akan kau lakukan bila demikian? Apa kau sudah memikirkannya?”

Lepi tak menyahut, bibirnya yang kemerahan setelah menyantap cemilan pedasku yang seenaknya dimakannya itu masih bungkam.

“Perjuangan?” lanjutku. “Seperti apa? Apa kau sedang memaksakan kehendakmu? Atau kau terlalu terburu-buru mengejarnya? Semuanya butuh proses. Kau tak perlu berjuang. Kau hanya butuh cara untuk memikatnya. Untuk cara memikatnya, kau harus pikirkan sendiri sesuai dengan karakter orang yang kausukai. Kau harus pintar membaca hatinya. Sesuatu yang terkesan dipaksakan dan terburu-buru akan membuahkan hasil yang jelek. Bahkan suatu adonan kue sekalipun butuh waktu yang pas untuk memanggangnya agar hasilnya baik.”

“Tapi ...,” Lepi berusaha memberikan tanggapan lain. “Dia menghargai kehadiranku di sisinya. Dia hanya trauma dengan kekasihnya yang dulu. Dia begitu perhatian pada mantan kekasihnya, tapi dia justru dikhianati dan disakiti. Akibatnya, ia sedikit bersikap cuek. Masih takut dengan masa lalu. Tapi bukan berarti ia tak menerimaku.”

Membosankan. Sejujurnya aku ingin segera meninggalkannya. Namun mataku menangkap gerak tangan Lepi yang kini sudah menyentuh tumpukan kaset game-ku. Aku yakin ia akan langsung meremukkan kaset itu bila aku tiba-tiba beranjak dari tempat ini. Sungguh menyebalkan!

“Jika dia menceritakan masa lalunya padamu, kemungkinan ada dua. Dia berharap kau segera menjauhinya, atau dia berharap agar kau bisa membantunya untuk bangkit dari rasa traumanya. Kau harus pastikan dulu yang mana. Bisa kau tanyakan secara tak langsung seperti ‘Hei, aku ingin membantumu lepas dari masa lalu, atau aku ingin membantumu sembuh dari traumamu’. Kira-kira seperti itu. Lalu lihat jawabannya. Setelah itu kau bisa ambil langkah selanjutnya.”

“Begitu, ya? Menarik juga idemu,” ujarnya sambil manggut-manggut.

Aku tak butuh pujianmu. Yang kubutuhkan saat ini segeralah kau puas dan cepat keluar dari kamarku.

“Yang terpenting,” lanjutku. Sial! Bibirku bergerak sendiri lagi tanpa kuperintah. Beginilah kalau aku sudah memberi masukan. “Kau tak perlu merutuki hal yang sudah kauusahakan bila sesuatu yang terjadi tak sesuai dengan harapanmu. Perlu diingat, di dalam cinta ada sepasang rasa yang selalu berdampingan. Rasa senang dan rasa sakit. Entah rasa mana yang akan kau dapatkan nanti, terima saja. Kedua rasa itu akan selalu menemani secara bergantian agar hidupmu tak terasa hambar.”

Sudut bibir Lepi terangkat  sambil meletetakkan kaset-kaset game-ku yang digenggamnya ke tempat semula. Secercah rasa aman menggelayuti. Aku belum bisa merasa lega sepenuhnya sebelum ia benar-benar keluar dari kamarku.

“Aaa ... baiklah. Kucoba saranmu. Masuk akal kok.” Ia mengangkat tubuhnya dan segera melangkah ke arah pintu. Tampak wajahnya sudah sedikit tenang. Hanya wajahnya. Aku tak peduli dengan yang ada di benaknya. “Aku pulang ya, Ranka,” ujarnya lalu hilang dari pandangan.

Itu yang sejak tadi aku tunggu-tunggu. Seharusnya memang kau tak usah datang. Dan juga,” UCAPKAN TERIMA KASIH SEBELUM KAU PULANG, SEPUPU BIADAP!!!”


P.S.


Terima kasih. Semoga puas dengan jawabannya. Kalau belum puas, puas-puaskan aja. Bila ada yang ingin bertanya atau konsultasi, bisa tinggalkan di kolom komentar atau hubungi saya langsung di @nyoosama. Biar nanti saya, err ... Ranka yang menjawabnya lewat rubrik tanya Ranka atau dalam bentuk cerita. Terima Kasih.

Senin, 11 Mei 2015

Aku Harus Segera Mengusirnya dari Rumahku

Ceroboh artinya bunuh diri, kematian, kuburan, dan apa saja yang bermakna sama dengan itu. Penyebab utama kecerobohan biasanya adalah terlalu lalai atau terlalu tergesa-gesa. Yah, tiap manusia biasanya juga tak luput dari perilaku ceroboh tersebut. Akan tetapi, kau tidak boleh membiarkannya terlalu sering terjadi padamu apalagi menjadi kebiasaanmu. Sebagai contoh, saat kau sedang memeriksa kebocoran yang terjadi pada tabung lpg 3 kg milikmu pada malam hari, saat itu pula listrik mati. Karena merasa tergesa-gesa butuh penerangan, tanpa sadar kau meraba sakumu dan mengambil pemantik api yang biasanya kau gunakan untuk merokok. Begitu kau menyalakannya, meninggal.

Mungkin contoh di atas dianggap terlalu membual dan mengada-ada. Persentasa kemungkinan terjadinya bisa di bawah 5%. Akan tetapi, selama hal itu masih masuk akal terjadi, hal itu tetap bisa terjadi. Maka dari itu, mulai detik ini aku akan berusaha lebih fokus dan tenang untuk mengerjakan sesuatu. Demi mencegah terjadinya kecerobohan pada diriku, aku tak boleh terburu-buru dalam hal apa pun. Aku tak boleh terburu-buru berjalan ke sekolah meski hampir terlambat. Tak perlu terburu-buru saat bangun pagi. Tak perlu terburu-buru menyelamatkan orang yang sedang tenggelam. Keselamatan diriku adalah prioritas utama.

Matahari yang sudah agak condong ke barat menyusupkan sinarnya lewat celah daun-daun pohon. Suara sandalku yang setengah terseret terdengar jelas di telinga saat melintas di jalanan sepi ini. Aku memang paling suka melewati jalan kecil ini. Momen untuk menikmati rimbunnya pohon-pohon dan semilir angin yang kadangkala berhembus itu yang sangat kusukai. Dari kejauhan, aku melihat seorang gadis sedang terduduk di pinggir jalan sambil menengadah ke atas. Langkahku mendekat dan kudapati gadis itu adalah kenalanku. Aku tetap melangkah melaluinya tanpa menghiraukannya.

“Tunggu!” suara itu terdengar dari arah belakang. Dari gadis yang duduk itu. Aku tak memberi respon dan tetap berjalan. “Jangan mengabaikanku! Aku bilang tunggu!”

Dengan terpaksa aku menoleh, “Apa?”

Ia bangkit dari posisinya duduk dan melangkah mendekatiku. “Kau tak lihat aku sedang terkapar lesu tak berdaya di pinggir jalan? Kenapa kau tak menawarkan bantuan?”

Dari segi mana kau menyebut dirimu sedang terkapar tak berdaya, hah?

“Maaf, aku menganut prinsip tak memberikan bantuan pada orang lain apapun yang terjadi meski nyawa taruhannya. Permisi,” ucapku berpamitan.

“Hey,” gadis ini menarik bahuku. “Saat ini cuma kau yang ada di sini. Aku butuh pertolongannmu, Ranka. Tolonglah.”

Salahmu sendiri. Kenapa duduk meratap di jalanan sepi seperti ini? Seharusnya kau memilih area yang lebih ramai. Misalnya di area pesta pernikahan. “Baiklah, akan kudengar permintaaanmu.”

Matanya berbinar dan ia mulai bercerita. “Sebenarnya saat ini aku sedang diusir dari rumah. Aku tak punya tempat tinggal sekarang. Jadi, aku ingin minta bantuanmu.”

“Baiklah, aku sudah mendengarnya dan aku harus segera pulang.”

“Hey! Kau tak jadi membantuku?”

“Aku hanya bilang akan kudengar permintaanmu. Bukan bilang membantumu. Sampai jumpa.”

“Tunggu, tunggu. Oh, ayolah Ranka, kumohon. Aku butuh tempat tinggal sementara. Kau sebegitu tak inginnya membantuku, ya?” sorot matanya meredup. Wajahnya murung.

Aku mengangguk dan meninggalkannya. Tak terdengar lagi suara keluar dari bibirnya. Sepertinya ia sudah menyerah. Yang tersisa kini hanya suara sandalku yang setengah kusuret di atas tanah. Dugaanku meleset. Tak berangsur lama ia mengejarku dan merengek-rengek padaku tanpa henti. Apa boleh buat.

Perempuan ini bernama Hesti. Dia teman satu kelasku. Kini ia terduduk sopan di atas sofa di ruang tamuku dengan mimik wajah memelas dibuat-buat.

“Kau bisa tinggal di sini sesukanya semaumu. Tapi aku takkan menyediakan makanan untukmu.”

“Lalu aku makan apa?”

“Apa saja kecuali perabotan di rumah ini.”

“Jahat!” ucapnya dengan nada cemberut. Aku tak menggubrisnya dan segera meninggalkannya menuju arah kamarku.

“Mau ke mana? Kau tak ingin mendengar penyebab kenapa aku sampai diusir dari rumah?”

“Nggak, aku menganut prinsip lain yaitu menghindari hal-hal yang akan membuatku kerepotan nantinya.”

Dengan cepat, Hesti melompat dari sofa dan segera menarik paksa diriku untuk kembali duduk di sofa.  Ia memaksaku untuk mendengarkan ceritanya. Inilah sebabnya aku tak suka membantu orang lain. Waktu berhargaku yang biasa kugunakan untuk bermain game, sirna sudah.

Dengan memasang tampang mengantuk yang sengaja kubuat-buat, aku memerhatikan gerak bibirnya. Katanya ia diusir karena tanpa sengaja memecahkan beberapa buah guci mahal koleksi ibunya karena tergesa-gesa berlari ke luar rumah untuk mengejar abang bakso yang lewat. Sebelumnya juga ia menjatuhkan dompet ibunya yang berisi banyak uang, kartu atm dan surat-surat lain entah di mana. Sebelumnya lagi ia juga menumpahkan pemutih ke atas pakaian bermerk ibunya akibat kecerobohannya. Aku rasa keputusan ibunya adalah hal yang sangat tepat. Tapi itu artinya, kini aku yang bakal terkena dampaknya bila aku tak segera ikut mengusirnya juga.

“Ibuku itu nggak pengertian. Sedari kecil aku memang sering melakukan kesalahan. Tapi aku kan nggak sengaja?” Sambil berkata seperti itu, ia memukul keras permukaan meja dan membuat vas bunga di atasnya jatuh, menggelinding ke arah pinggir. Aku berhasil menangkapnya sebelum jatuh ke lantai.

Hesti tersenyum malu-malu. Pertanda sudah terlihat. Aku harus segera mengenyahkan gadis ini dari rumahku.

“Jadi begitulah, ibuku selalu saja marah-marah. Padahal aku kan nggak sengaja. Bukan mauku kan bertingkah ceroboh seperti itu? Sudah memang bawaanya seperti itu. Dan sore tadi, aku diusirnya. Ibuku memang tak pernah sayang padaku. Ia memang lebih sayang pada barang-barang berharganya saja,” keluh Hesti sedih.

Sekalipun ia memasang tampang sedih dramatis seperti itu. Aku harus tetap konsisten untuk segera mengusirnya dari rumah ini. “Apa kau yakin dengan pikiranmu itu?”

Bola mata Hesti bergerak. Dahinya mengernyit sambil menatap ke arahku. “Maksudmu, Ranka?”

Salah satu sifat dasar manusia adalah tidak suka disalahkan. Sebesar apa pun kesalahan yang kau perbuat, otakmu akan merespon cepat untuk mencari-cari alasan agar kau bisa menepis kesalahan yang ditujukan padamu.

“Daripada terus menyalahkan ibumu dan keadaanmu, kenapa kau tak berusaha untuk mengubah perilaku cerobohmu itu? Mengharapkan pengertian ibumu saja takkan mengubah keadaan. Tidak hanya ibumu, bahkan orang lain pun bisa merasa resah karena tingkahmu.”

Wajah Hesti kembali cemberut. “Kau tak mengerti, Ranka. Aku sudah berusaha mencoba untuk merubahnya. Aku memang sudah ditakdirkan seperti ini.”

Alasan itu menguap seketika dari bibirnya begitu aku membalikkan kesalahan padanya. Kini ia menyalahkan takdir. Otak memang tak sepatutnya disalahkan. Keinginannya yang begitu kuat untuk tak mau disalahkan itu yang memaksa otaknya untuk mencari alasan. Aku juga tak menampik bila aku sering melakukan hal yang sama. Tapi, bila berhubungan dengan otak, aku takkan kalah. Secepatnya aku harus membuatnya pergi dari rumahku!

“Takdir? Setelah itu, siapa dan apa lagi yang akan kau salahkan?"

"Bukan begitu. Aku tak pernah berhasil. Mau cara apa pun yang kulakukan, pada akhirnya hanya menciptakan kecerobohan yang lain."

"Bukan tak berhasil. Tapi kau yang terlalu menganggap ringan masalahmu," kutepis alasannya itu dengan cepat. "Apa kau sudah mencobanya dengan sungguh-sungguh? Apa kau pernah sedikitnya merasa sangat bersalah dan merenungkan kecerobohanmu? Aku yakin kau hanya berpikiran 'ah, sudahlah, namanya tak sengaja' begitu, kan?”

Hesti hening. Kepalanya menunduk dan terpaku beberapa saat.

“Aku benar, kan? Kau hanya mengabaikannya, dan menganggapnya suatu kebiasaanmu sedari kecil. Tak ada rasa penyesalan dan terus mengulangi kesalahanmu itu sebagai bagian dari kehidupanmu.”

Aku meletakkan kembali vas bunga yang ada di genggamanku ke atas meja. Karena begitu terobsesinya untuk segera mengusir perempuan dari rumah ini, aku sampai tak sadar terus menggenggam vas bunga yang dibeli ibuku saat diskon ini.

“Temukan sumber utama penyebab kecerobohanmu. Kau takkan bisa memulai apa pun kalau kau sendiri tak mengerti masalahmu. Sekarang pulanglah. Aku yakin ibumu saat ini sedang merasa menyesal. Biar bagaimanapun, kau adalah darah dagingnya.”


Hesti mengangkat tubuhnya dari posisinya duduk. Kakinya mulai melangkah menuju pintu keluar dari rumahku tanpa mengatakan apa pun. Sesaat sebelum dirinya benar-benar meninggalkan rumahku, ia menoleh dan mengucapkan beberapa kata sejenis terima kasih sambil menjulurkan lidahnya. Tenang saja, aku sama sekali tak berniat membantumu. Aku hanya ingin kau segera pergi dari rumahku. 

Tanpa menunggu lebih lama lagi, tanganku mendorong daun pintu rumahku dengan cepat. Misi pengusiran secara halus berhasil tanpa mengalami hambatan. Aku menang!

Minggu, 10 Mei 2015

TANYA RANKA

Yos! An Hasibuan di sini. Kemarin aku iseng-iseng minta pertanyaan dari rekan-rekan penulis yang sudah kukenal baik. Dan pertanyaannya emang diluar prediksi. Sial betul, padahal mau dijawab absurd. Ah, tapi masa bodoh. Yang ngejawab bukan aku, tapi Ranka (pribadi gandaku). Hahaha ... Sebenarnya rubrik ini aku ambil dari salah satu bab di novelku.

Ranka: “ Dasar manusia! Selalu saja membuat ulah lalu melempar tanggung jawabnya kepada orang lain.”

An: “Oy, ayolah. Itung-itung menambah kemiringan otakmu. Aku yakin tak ada pertanyaan yang tak bisa dijawab olehmu. Nih lihat catatannya. Berjuanglah Ranka! Aku mau tidur. Bhaii.”

Aku membuka isi catatan yang ditinggalkan oleh si bodoh An Hasibuan itu. Lalu ... aku segera ke dapur untuk mengasah pisau cincang. Akan kugunakan setelah aku menjawab semua pertanyaan ini. Bahkan Neka saja tak pernah menanyaiku pertanyaan serumit ini.

Jeung Fina ( twitter: @filadina):
Kenapa jawaban harus dimulai dari pertanyaan sementara pertanyaan tak selalu butuh jawaban?

Jawab:
Pertanyaan macam apa itu? Apa kau suka bermain kata atau menyelesaikan puzzle hingga kau bertanya juga seperti puzzle? Tak beraturan seperti itu. Biar kujelaskan. Kita anggap pertanyaan itu adalah sepasang pria dan wanita, dan jawaban adalah anak. Anak takkan mungkin lahir tanpa adanya sepasang pria dan wanita, kan? Sedangkan sepasang pria dan wanita itu bisa saja tak begitu menginginkan anak (anggaplah hubungan di gelap-gelap). Intinya, jawaban terlahir dari pertanyaan atau masalah. Bila suatu pertanyaan tak dipertanyakan, kita tak butuh jawaban.

Jeung Fara (twitter: @fhashadina):
Siapa yang bisa mengendalikan perasaan, apalagi kalau sedang galau terpaut pada seseorang?

Jawab:
Mungkin Avatar bisa, dia sekarang bisa mengendalikan elemen logam. Huh, sebelumnya kita pahami dulu apa sebenarnya perasaan itu. Perasaan adalah penyeimbang logika. Sama seperti siang dan malam. Terang dan gelap. Panas dan dingin. Yang bisa mengendalikan perasaanmu adalah logikamu, sebaliknya yang bisa mengendalikan logikamu adalah perasaanmu. Keduanya boleh berat sebelah di saat-saat tertentu, namun juga harus seimbang di saat tertentu. Yang jadi masalah adalah kesulitan dalam mengendalikannya. Aku yakin perasaan di sini ada kaitannya dengan cinta kepada lawan jenis. Bila demikian, lihat dirimu, apa yang membuatmu bisa mencintainya? Tentunya karena Tuhan, kan? Bila kau sanggup mencintainya karena Tuhan, kau harus bisa melepasnya karena Tuhan pula. Biarkan saja ia kembali pada Tuhan dengan tenang. Bila kau mencintainya karena alasan lain. Segeralah bertaubat.

Ody (twitter: @ody_chan01):
Bagusnya untuk gantiin hati, lpgnya warna apa? Kalo ijo udah terlalu mainstream.

Jawab:
Baik hijau, ungu, nila, lembayung, magenta, semuanya adalah warna-warna polos. Daripada mengganti warnanya, bukankah lebih baik memilih lpg bermotif, motif batik misalnya. Beda, kan? Lebih terlihat mewah dan cinta produk dalam negeri.

Mpok Iken (Twitter: @widyaiken27):
Apa aja yang biasanya kamu bawa pada waktu ke WC?

Jawab:
Hal yang selalu dibawa pada saat ke WC tiada lain adalah:
1. Niat, kau tak bisa pergi ke WC tanpa adanya niat. Sebesar apapun panggilan alammu, bila kau tak membawa niat, bisa saja kau berakhir di luar toilet dalam penantian yang sia-sia.
2. Usahakan bawalah dirimu sendiri beserta dengan benda yang ingin kau buang yang ada dalam perutmu. Jangan membawa orang lain!
3. Bawa juga keikhlasan. Ikhlaskan apa yang kau buang ke dalam WC. Relakan dan jangan harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia.

Haris (twitter: @harishirawling) :
Apa bedanya mata kaki sama mata ikan?

Jawab:
Mata adalah indera yang digunakan untuk melihat. Mata kaki artinya adalah mata yang berada di kaki. Mata ikan artinya adalah mata yang berada pada ikan. Perbedaan di antara keduanya tidak terlalu mencolok. Mata ikan tak memiliki kelopak mata, sedangkan mata kaki justru sebaliknya, semuanya adalah kelopak mata.

Hadi (twitter: @had1k):
Kenapa ada istilah CLBK?

Jawab:
Itu artinya istilah ini sudah ada sebelum kau terlahir di dunia ini, makanya kau bertanya. Entah itu cinta lama bersemi kembali atau cinta lama bau kentut, istilah ini sering terdengar di telinga. Penyebab utama adanya istilah ini karena adanya telinga. Bila tak ada telinga, kau takkan mendengar istilah ini. Kutuk saja telingamu karena sudah pernah mendengar istilah ini.

Ipin (twitter: @Ipin_arivin):
Ketika kamu jatuh dalam titik keterpurukan yang paling dalam, siapakah orang yang selalu mensupport kamu untuk bangkit dan menghadapinya?

Jawab:
Sayang sekali kisanak, jangan pernah harapkan support dari siapapun bila kau tak berhasil men-support dirimu sendiri. Awal mula untuk bangkit dari keterpurukan adalah kemauan keras dari dirimu sendiri. Tak ada gunanya support dari orang lain kalau kaki-kakimu sendiri saja tak ingin bangkit. Mulai support dirimu sendiri untuk memperkuat akarnya, lalu tak perlu memilih orang-orang tertentu untuk men-supportmu. Siapa saja bisa men-supportmu setelah itu. Yah, mungkin orang-orang terdekat bisa lebih manjur sih.

Selesai juga. Waktu santai berhargaku terbuang percuma demi mengurusi hal semacam ini. Baiklah, di mana pisau cincang tadi?

P.S.
Semua ucapan di atas berdasarkan karakter pribadi Ranka. Bila ia terkesan kasar, ia memang kasar, jangan disamakan dengan Aku ya, hahahaha. Terima kasih sudah mau berkunjung, berikutnya insyaallah aku akan memposting cerita tentang Ranka secara pribadi.


An Hasibuan

Jumat, 08 Mei 2015

SAKIT HATI



Ranka di sini. Sebagai makhluk yang memiliki tekanan darah yang berubah-ubah, pasti pernah merasakan hal yang bernama sakit hati. Bukan sakit hati secara harafiah, tapi mengacu pada perasaan. Lantas, sebenarnya apa saja penyebab sakit hati itu? Kita bahas secara logis. Simak dan renungkan. Karena aku yakin kalian juga bisa sakit hati setelah membaca tulisan ini.

Penyebab sakit hati yang pertama adalah ulah, tingkah, atau kelakuanmu sendiri. Kau tahu, selama kau tak melakukan apa-apa, kau takkan mengalami sesuatu yang disebut dengan sakit hati. Kita ambil contoh, saat kau sedang berpapasan dengan seorang yang kau kenal, otomatis kau akan menyapanya. Akan tetapi, kenyataan tak selalu berjalan sesuai ekspektasi. Bisa saja ia tak membalas sapaanmu atau mengabaikanmu seperti serangga busuk. Lantas, kau akan merasa sakit hati karenanya. Bila kau tak melakukan apa-apa sejak awal seperti menyapanya, kau takkan merasa sakit hati, bukan? Dan hal ini juga berlaku untuk semua kegiatan lainnya dalam berinteraksi. Entah itu kau sedang menanyakan kabar, ngobrol, meminjam barang, menyatakan cinta, pacaran, dsb. Saranku adalah sebaiknya kau cukup diam dan tak perlu melakukan apa-apa. Jangan buang-buang energimu untuk melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan sakit hati pada dirimu sendiri.

Penyebab yang kedua adalah terlalu resah dan berpikir terlalu jauh. Bila kau sudah diam dan tak melakukan apa-apa, kau tak perlu memikirkan hal-hal bermacam-macam bila seseorang yang kau kenal melakukan sesuatu di hadapanmu. Misalnya, saat kau sedang mematung menatap langit senja yang berkilau keemasan, seorang temanmu tiba-tiba datang sambil meniup terompet. Lantas, kau berpikir macam-macam dengan asumsi bahwa temanmu mengganggumu yang sedang menikmati senja yang indah. Atau berpikir ia sedang berpromosi untuk menjualmu pada om-om di seberang sana. Atau kau berpikiran bahwa temanmu akan menghancurkan gendang telingamu dengan terompetnya. Padahal bisa saja ia hanya ingin meniup kotoran yang menyumbat di dalam rongga terompetnya. Berhentilah berpikiran buruk pada orang lain.

Penyebab yang ketiga adalah bila kau memiliki kekurangan atau kecacatan. Orang-orang yang tak bisa menahan dirinya akan dengan gampang menghina kekuranganmu baik langsung maupun tak langsung. Jelas ini membuat sakit hati. Akan tetapi, yang ini juga masih tetap kesalahanmu sendiri. Bila kau bisa memanfaatkan otakmu dengan baik, kau tak perlu merasa berkecil hati. Temukan, gali, dan cari kelebihan yang ada pada dirimu sendiri untuk menutupi kekuranganmu agar kau bisa menunjukkannya kepada orang-orang bahwa kau juga dapat memukau dengan caramu.
Bila kekurangan yang kaumiliki adalah keterbelakangan mental, dan kau dihinanya, tidak apa-apa. Orang yang menghina orang yang memiliki keterbelakangan mental artinya telah mempermalukan dirinya sendiri. Ia dengan gamblang menunjukkan pada dunia tentang ketololannya.

Penyebab keempat adalah karena memiliki hati. Mungkin bila kau mengganti hatimu dengan tabung lpg 3 kilogram, kau takkan perlu merasakan sakit hati lagi. Yang memiliki hati adalah mereka yang hidup. Itu sebabnya boneka tak pernah marah saat kau patahkan tangan atau lehernya.

PS:

Hai, An Hasibuan di sini. Mungkin pernyataan Ranka terdengar kasar. Tapi ketahuilah sebenarnya ia hanya memberitahu bahwa penyebah sakit hati bukan hanya berasal dari orang lain saja. Sebisa mungkin sering-seringlah bercermin atau koreksi diri. Bila kau menyadarinya, kau bisa segera membuang rasa sakit hati itu dengan cepat. Mungkin itu yang ingin disampaikan Ranka. Mungkin. Hahahaha.