“Lalu gimana? Kau sudah tahu cara untuk
menyelesaikan masalah ini?” Ovan kembali bertanya seusai aku berkenalan dengan
kedua kandidat itu.
Kami kembali menepi di dinding mesjid dalam
posisi berdiri. Punggungku kusandarkan pada dinding dan kedua tanganku kulipat
di bawah dada. Mengingat ini adalah permasalah yang sebenarnya tak begitu
penting, aku punya firasat yang mengatakan bahwa masalah ini tak bisa
diselesaikan dengan mudah. Menangani dua orang bodoh itu lebih sulit daripada
memberi makan kucing.
“Sebelum aku menyelesaikan masalah ini-,”
“Van, bantuin kita dong. Kamu dari tadi
berdiri terus gak ngapa-ngapain,” protes seorang anggota remaja laki-laki yang
tiba-tiba memutus pembicaraanku.
“Ah, maaf. Tunggu sebentar ya? Sedang ada
urusan penting. Pasti kubantu deh,” balas Ovan dengan ekspresi manisnya yang
menjengkelkan.
Anak laki-laki itu mengangguk, lantas menarik
diri.
“Aku ada di bagian humas. Sedang mensortir
data gitu. Eh, tadi kau mau bilang apa?” lanjut Ovan.
Aku membuang napas lega. Dengan seribu
wajahnya ini, Ovan memang cocok berada dalam bagian humas. Dan jangan pernah
biarkan ia berada pada bagian keuangan. “Begini,” lanjutku. “Sebelum
menyelesaikan masalah ini, aku ingin tahu karakteristik pribadi GeoTeo ini
sedikit,” pintaku pada Ovan.
Ovan mengernyitkan alis sambil menegadahkan
kepalanya ke atas. Sebelah tangannya ikut memegang dagunya yang kuyakin tanpa
dimintanya.
“Kak Geo itu pribadi yang tegas, cepat
mengambil keputusan, sangat mempercayai anggota. Selalu menerima usul anggota
dengan senang hati. Cukup pantas kok jadi kandidat ketua,” papar Ovan.
“Itu tipikal orang ceroboh, tak panjang akal,
tak bisa berpikir dengan baik, dan naif. Yah, sesuai sih dengan tampangnya yang
agak sangar itu,” tanggapku.
Ovan sumringah. “Kau ini,” ujarnya sambil
tertawa kecil sambil memegangi perutnya. “Nah, kalau Kak Teo itu perfeksionis.
Dia ingin segalanya sesuai dengan apa yang dikatakannya. Dia bisa membimbing
dan mengarahkan anggota dengan baik. Ide-idenya juga keren. Dia cukup layak
menjadi kandidat.”
“Tipikal egois, ambisius, tirani, calon
diktator, dan berbahaya, punya banyak maksud tersembunyi, tidak cocok bekerja
dalam tim. Yah, walau aku pun tak membenci karakter seperti ini,” tanggapku
lagi. Dan Ovan makin meringkuk menahan tawa.
Hal ini tak pantas untuk ditertawakan. Keterangan
yang dipaparkan oleh Ovan barusan sudah membuatku berpikir dengan cepat. Aku
sudah tahu mana yang lebih pantas menjadi ketua. Tapi keputusan sepihak tak
bisa dilakukan dalam masalah ini. Oleh karenanya, tak perlu lagi berpanjang
lebar. Aku hanya cukup mengajak mereka berdua mengobrol dan keduanya akan
bertekuk lutut, maksudku keduanya akan membuka mata mereka.
“Ovan, pinjamkan telingamu.”
Aku berbisik pada Ovan agar ia melakukan
sesuatu. Ovan mengerti dan segera mengambil tindakan. Mikrofon yang terletak di
mimbar khotbah dipakainya untuk mengumpulkan semua anggota remaja mesjid ke
dalam mesjid. Tak butuh waktu yang lama, semua anggota meninggalkan kegiatan
kelompoknya dan masuk ke dalam. Duduk membentuk lingkaran dengan memposisikan
Ovan dan kedua kandidat di tengah. Aku ditinggal dan dibelakangi.
“Kita akan selesaikan masalah perdebatan
kandidat ketua ini sekarang,” ujar Ovan langsung pada topik. “Ranka,
kemarilah.”
Ucapan Ovan menarikku untuk masuk ke dalam
lingkaran kerumunan dan aku mengambil posisi di tengah. Kini di tengah ada aku,
Ovan, dan kedua kandidat GeoTeo dalam posisi berdiri. Tentu saja yang menjadi
pusat perhatian adalah aku. Orang asing yang tiba-tiba saja ikut nimbrung.
Tanpa berbasa-basi dan memperkenalkan diri,
aku langsung saja memulai tugasku. “Aku akan memberikan beberapa pertanyaan
pada kedua kandidat. Saat kedua kandidat menjawab, semua anggota di sini harus
menilainya. Dengan begitu, saat pemilihan berikutnya, kalian bisa memilih
sesuai dengan pemikiran kalian sendiri.”
Keadaan hening berubah menjadi bisik-bisik
antara anggota. Mungkin cara ini terkesan seperti pemilihan presiden. Akan
tetapi hal ini akan membuahkan hasil yang lebih akurat.
“Tunggu!” seorang anak cowok tiba-tiba angkat
bicara. “Sebelumnya aku ingin tahu. Kamu ini siapa? Kenapa tiba-tiba datang dan
seolah mengambil alih kepemimpinan?” protesnya.
Aku juga tak tahu siapa kau. Tiba-tiba
mengambil alih pusat perhatian dariku. Kau ingin mengganggu pekerjaanku? Kau
ingin kuhancurkan sekarang juga?
“Aku hanya tamu di sini, aku di-.”
“Dia anggota yang baru saja bergabung. Namanya
Ranka Cerebrio. Umur enam belas tahun. Unyu dan menggemaskan. Kalau mau
perkenalan lebih lanjut, nanti setelah sesi ini ya?” potong Ovan dengan panjang
lebar. Lagi pula siapa yang dikatakannya menggemaskan? Aku kira banyak orang di
luar sana yang menganggapku sadis.
“Lalu, kenapa dia yang memimpin perundingan
ini? Dia kan masih baru?” protes anak laki-laki yang tak diketahui ini. Dia
memang sengaja cari gara-gara.
“Kau boleh protes kalau kau bisa melakukan
sesuatu untuk mengakhiri perdebatan kandidat ketua remaja mesjid ini. Kalau kau
tak bisa melakukan apa-apa, sebaiknya diam saja dan lihat bagaimana aku
melakukannya,” balasku dingin.
Anak laki-laki itu diam. Dan semua anggota lain
ikut diam. Syukurlah, perundingan ini bisa segera dilanjutkan.
“Kita akan mulai. Kalian hanya perlu menjawab,
tak boleh ada yang protes. Pertanyaan untuk kalian berdua sama. Silakan jawab
bergantian.”
Tak ada sahutan hanya ada anggukan. Pertanyaan
yang akan kuberikan sampai sekarang belum terbesit di benakku. Tanganku
memegangi daguku sambil menatap kedua kandidat dengan santai.
“Pertanyaan pertama, dari angka nol sampai
sembilan, angka mana yang paling kalian sukai? Berikan alasannya!”
Geo dan Teo bertatap-tatapan tak mengerti.
Ovan yang juga merasa pertanyaanku aneh, segera menoelku dan berbisik padaku.
“Apa maksudnya? Pertanyaanmu nggak nyambung!”
suara anak laki-laki yang tadi sempat menggangguku terdengar lagi. Dia masih di
sini? Kukira dia sudah bunuh diri setelah kukatai tadi. Cih! Selalu saja ada
satu orang menyebalkan di mana pun kau berada.
“Aku sudah bilang tak boleh ada yang protes,
kan? Apa kau tadi tak mendengarkan ucapanku?” tanggapku setengah kesal sambil
menatapnya rendah. Karena posisiku yang sedang berdiri dan dia yang sedang
duduk.
“Gimana nggak protes? Ini kan penentuan
kandidat ketua remaja mesjid, yang behubungan dengan kegiatan dong. Masa
angka-angka? Kau ini-.”
“Aku tak bertanya padamu. Aku bertanya pada
kedua kandidat,” potongku cepat. “Silakan jawab dan beri alasan kalian. Kita
tak butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan masalah ini.”
Baik Geo maupun Teo terlihat setuju. “Baiklah,
biar aku duluan yang menjawab. Meski nggak tahu apa maksudnya,” ujar Geo sambil
memegangi kepalanya.
Dengan wajahnya yang masih terlihat
kebingungan, matanya mencari-cari sesuatu di sekitar langit-langit. Percayalah
tak ada angka di sana.
“Hem ... apa ya? Hmm ...,” gumamnya lagi.
“Satu. Sepertinya angka satu yang ada di benakku saat ini,” jawab Geo.
Satu orang lagi yang tak mendengar perkataanku
dengan baik. Dia tak memberikan alasannya. Aku paling benci mengulang kembali
pertanyaan yang kuberikan. Dengan wajah kesal yang kupendam, aku kembali
menegaskan. “Alasannya?”
“Hmm ... karena angka 1 itu menunjukkan yang
pertama. Spesial gitu. Angka pemenang. Kira-kira begitu.”
Sudah kuduga. Dia memang orang yang berpikiran
sederhana. Alasannya itu sungguh amatiran.
“Kalau aku,” sambung Teo cepat. “Aku suka
dengan angka nol. Nol menunjukkan kehampaan atau kekosongan. Hanya hal-hal yang
kosong yang bisa diisi dengan sesuatu, kan? Nol juga menunjukkan permulaan.
Angka yang indah untuk memulai suatu kegiatan. Nol juga memiliki bentuk yang
simetris apabila dibelah tepat di tengah. Angka yang sempurna.”
Wow! Terlihat sekali perfeksionisnya. Aku
sampai terkagum. Tapi tetap saja dia aneh. Sebegitu detailnya tentang angka
nol. Aku tak ingin memiliki sifat sepertinya.
“Bagaimana? Apa kalian sudah mengerti maksud
pertanyaanku? Kalian sudah bisa menilai kandidat ketua kalian melalui jawaban
mereka,” ujarku dengan suara lantang. Beberapa anggta terlihat berbisik-bisik
seperti merundingkan sesuatu. Beberapa yang lain mengangguk-angguk. “Baiklah
akan kulanjut dengan pertanyaan kedua.”
Suasana kembali hening hingga suara napasku
sendiri terdengar berisik. “Pertanyaan kedua, apa yang akan kalian lakukan
kalau kalian menginjak ekor ular?”
Geo dan Teo kembali bertatapan. Ovan memegangi
perutnya sambil ngikik dengan suara pelan. Dan ....
“Nah, kan? Apa hubungannya dengan menginjak ekor
ular? Ya nanti langsung dipatuk lah,” gugat anak laki-laki yang tadi, Ia masih
saja suka ikut campur. Aku sarankan jangan ada yang meniru adegan seperti dia.
Mungkin dia keberatan kalau menginjak ular.
Mungkin dia akan lebih senang kalau aku yang menginjak-injaknya. Orang yang
tahunya hanya protes tanpa bisa mengutarakan usul memang seharusnya
diinjak-injak dan dibakar dalam sekam. Aku mengabaikannya dan menunggu jawaban
dari duo GeoTeo.
“Aku tak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini.
Aku hanya akan mengandalkan refleksku. Pasti tetap terasa di kaki kan kalau
kita sedang menginjak sesuatu yang lembut? Kalau refleksku sedang baik, aku
mungkin bisa langsung menghindar sebelum dipatuknya,” jawab Geo. Jawaban yang
masuk akal. Dia bisa menganalisis kecepatan pergerakan patukan kepala ular.
Aku suka.
“Kalau aku, aku akan meluncur turun ke kotak yang
yang di dalamnya terdapat kepala ular. Maksudmu menginjak ekor ular di sini
adalah permainan ular tangga, kan? Jika menginjak ekor ular, berarti turun,”
jawab Teo santai.
Apa-apaan orang ini? Dia seperti bisa membaca
pikiranku. Analisisnya lebih tajam dari yang kuduga. Aku jadi tak menyukainya.
Tak boleh ada yang menyamaiku!
“Nah, kalau kamu, apa yang akan kamu lakukan
kalau kau menginjak ekor ular?” Suara itu lagi. Suara dari anak laki-laki yang
menyebalkan.
“Akan kupastikan menginjak-injak ularnya hingga
hancur luluh seperti bubur bila wajah ularnya mirip denganmu,” jawabku kesal.
Sebelum ia meladeniku lebih jauh, aku mengajukan pertanyaan ketiga. “Pertanyaan
terakhir.”
BERSAMBUNG