Kamis, 02 Juli 2015

Sesuatu akan menjadi rumit bila kau melupakan tujuan awalmu Bagian 2

“Lalu gimana? Kau sudah tahu cara untuk menyelesaikan masalah ini?” Ovan kembali bertanya seusai aku berkenalan dengan kedua kandidat itu.

Kami kembali menepi di dinding mesjid dalam posisi berdiri. Punggungku kusandarkan pada dinding dan kedua tanganku kulipat di bawah dada. Mengingat ini adalah permasalah yang sebenarnya tak begitu penting, aku punya firasat yang mengatakan bahwa masalah ini tak bisa diselesaikan dengan mudah. Menangani dua orang bodoh itu lebih sulit daripada memberi makan kucing.

“Sebelum aku menyelesaikan masalah ini-,”

“Van, bantuin kita dong. Kamu dari tadi berdiri terus gak ngapa-ngapain,” protes seorang anggota remaja laki-laki yang tiba-tiba memutus pembicaraanku.

“Ah, maaf. Tunggu sebentar ya? Sedang ada urusan penting. Pasti kubantu deh,” balas Ovan dengan ekspresi manisnya yang menjengkelkan.

Anak laki-laki itu mengangguk, lantas menarik diri.

“Aku ada di bagian humas. Sedang mensortir data gitu. Eh, tadi kau mau bilang apa?” lanjut Ovan.

Aku membuang napas lega. Dengan seribu wajahnya ini, Ovan memang cocok berada dalam bagian humas. Dan jangan pernah biarkan ia berada pada bagian keuangan. “Begini,” lanjutku. “Sebelum menyelesaikan masalah ini, aku ingin tahu karakteristik pribadi GeoTeo ini sedikit,” pintaku pada Ovan.

Ovan mengernyitkan alis sambil menegadahkan kepalanya ke atas. Sebelah tangannya ikut memegang dagunya yang kuyakin tanpa dimintanya.

“Kak Geo itu pribadi yang tegas, cepat mengambil keputusan, sangat mempercayai anggota. Selalu menerima usul anggota dengan senang hati. Cukup pantas kok jadi kandidat ketua,” papar Ovan.

“Itu tipikal orang ceroboh, tak panjang akal, tak bisa berpikir dengan baik, dan naif. Yah, sesuai sih dengan tampangnya yang agak sangar itu,” tanggapku.

Ovan sumringah. “Kau ini,” ujarnya sambil tertawa kecil sambil memegangi perutnya. “Nah, kalau Kak Teo itu perfeksionis. Dia ingin segalanya sesuai dengan apa yang dikatakannya. Dia bisa membimbing dan mengarahkan anggota dengan baik. Ide-idenya juga keren. Dia cukup layak menjadi kandidat.”

“Tipikal egois, ambisius, tirani, calon diktator, dan berbahaya, punya banyak maksud tersembunyi, tidak cocok bekerja dalam tim. Yah, walau aku pun tak membenci karakter seperti ini,” tanggapku lagi. Dan Ovan makin meringkuk menahan tawa.
Hal ini tak pantas untuk ditertawakan. Keterangan yang dipaparkan oleh Ovan barusan sudah membuatku berpikir dengan cepat. Aku sudah tahu mana yang lebih pantas menjadi ketua. Tapi keputusan sepihak tak bisa dilakukan dalam masalah ini. Oleh karenanya, tak perlu lagi berpanjang lebar. Aku hanya cukup mengajak mereka berdua mengobrol dan keduanya akan bertekuk lutut, maksudku keduanya akan membuka mata mereka.

“Ovan, pinjamkan telingamu.”

Aku berbisik pada Ovan agar ia melakukan sesuatu. Ovan mengerti dan segera mengambil tindakan. Mikrofon yang terletak di mimbar khotbah dipakainya untuk mengumpulkan semua anggota remaja mesjid ke dalam mesjid. Tak butuh waktu yang lama, semua anggota meninggalkan kegiatan kelompoknya dan masuk ke dalam. Duduk membentuk lingkaran dengan memposisikan Ovan dan kedua kandidat di tengah. Aku ditinggal dan dibelakangi.

“Kita akan selesaikan masalah perdebatan kandidat ketua ini sekarang,” ujar Ovan langsung pada topik. “Ranka, kemarilah.”

Ucapan Ovan menarikku untuk masuk ke dalam lingkaran kerumunan dan aku mengambil posisi di tengah. Kini di tengah ada aku, Ovan, dan kedua kandidat GeoTeo dalam posisi berdiri. Tentu saja yang menjadi pusat perhatian adalah aku. Orang asing yang tiba-tiba saja ikut nimbrung.

Tanpa berbasa-basi dan memperkenalkan diri, aku langsung saja memulai tugasku. “Aku akan memberikan beberapa pertanyaan pada kedua kandidat. Saat kedua kandidat menjawab, semua anggota di sini harus menilainya. Dengan begitu, saat pemilihan berikutnya, kalian bisa memilih sesuai dengan pemikiran kalian sendiri.”

Keadaan hening berubah menjadi bisik-bisik antara anggota. Mungkin cara ini terkesan seperti pemilihan presiden. Akan tetapi hal ini akan membuahkan hasil yang lebih akurat.

“Tunggu!” seorang anak cowok tiba-tiba angkat bicara. “Sebelumnya aku ingin tahu. Kamu ini siapa? Kenapa tiba-tiba datang dan seolah mengambil alih kepemimpinan?” protesnya.

Aku juga tak tahu siapa kau. Tiba-tiba mengambil alih pusat perhatian dariku. Kau ingin mengganggu pekerjaanku? Kau ingin kuhancurkan sekarang juga?

“Aku hanya tamu di sini, aku di-.”

“Dia anggota yang baru saja bergabung. Namanya Ranka Cerebrio. Umur enam belas tahun. Unyu dan menggemaskan. Kalau mau perkenalan lebih lanjut, nanti setelah sesi ini ya?” potong Ovan dengan panjang lebar. Lagi pula siapa yang dikatakannya menggemaskan? Aku kira banyak orang di luar sana yang menganggapku sadis.

“Lalu, kenapa dia yang memimpin perundingan ini? Dia kan masih baru?” protes anak laki-laki yang tak diketahui ini. Dia memang sengaja cari gara-gara.

“Kau boleh protes kalau kau bisa melakukan sesuatu untuk mengakhiri perdebatan kandidat ketua remaja mesjid ini. Kalau kau tak bisa melakukan apa-apa, sebaiknya diam saja dan lihat bagaimana aku melakukannya,” balasku dingin.

Anak laki-laki itu diam. Dan semua anggota lain ikut diam. Syukurlah, perundingan ini bisa segera dilanjutkan.

“Kita akan mulai. Kalian hanya perlu menjawab, tak boleh ada yang protes. Pertanyaan untuk kalian berdua sama. Silakan jawab bergantian.”

Tak ada sahutan hanya ada anggukan. Pertanyaan yang akan kuberikan sampai sekarang belum terbesit di benakku. Tanganku memegangi daguku sambil menatap kedua kandidat dengan santai.

“Pertanyaan pertama, dari angka nol sampai sembilan, angka mana yang paling kalian sukai? Berikan alasannya!”

Geo dan Teo bertatap-tatapan tak mengerti. Ovan yang juga merasa pertanyaanku aneh, segera menoelku dan berbisik padaku.

“Apa maksudnya? Pertanyaanmu nggak nyambung!” suara anak laki-laki yang tadi sempat menggangguku terdengar lagi. Dia masih di sini? Kukira dia sudah bunuh diri setelah kukatai tadi. Cih! Selalu saja ada satu orang menyebalkan di mana pun kau berada.

“Aku sudah bilang tak boleh ada yang protes, kan? Apa kau tadi tak mendengarkan ucapanku?” tanggapku setengah kesal sambil menatapnya rendah. Karena posisiku yang sedang berdiri dan dia yang sedang duduk.

“Gimana nggak protes? Ini kan penentuan kandidat ketua remaja mesjid, yang behubungan dengan kegiatan dong. Masa angka-angka? Kau ini-.”

“Aku tak bertanya padamu. Aku bertanya pada kedua kandidat,” potongku cepat. “Silakan jawab dan beri alasan kalian. Kita tak butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan masalah ini.”

Baik Geo maupun Teo terlihat setuju. “Baiklah, biar aku duluan yang menjawab. Meski nggak tahu apa maksudnya,” ujar Geo sambil memegangi kepalanya.

Dengan wajahnya yang masih terlihat kebingungan, matanya mencari-cari sesuatu di sekitar langit-langit. Percayalah tak ada angka di sana.

“Hem ... apa ya? Hmm ...,” gumamnya lagi. “Satu. Sepertinya angka satu yang ada di benakku saat ini,” jawab Geo.

Satu orang lagi yang tak mendengar perkataanku dengan baik. Dia tak memberikan alasannya. Aku paling benci mengulang kembali pertanyaan yang kuberikan. Dengan wajah kesal yang kupendam, aku kembali menegaskan. “Alasannya?”

“Hmm ... karena angka 1 itu menunjukkan yang pertama. Spesial gitu. Angka pemenang. Kira-kira begitu.”

Sudah kuduga. Dia memang orang yang berpikiran sederhana. Alasannya itu sungguh amatiran.

“Kalau aku,” sambung Teo cepat. “Aku suka dengan angka nol. Nol menunjukkan kehampaan atau kekosongan. Hanya hal-hal yang kosong yang bisa diisi dengan sesuatu, kan? Nol juga menunjukkan permulaan. Angka yang indah untuk memulai suatu kegiatan. Nol juga memiliki bentuk yang simetris apabila dibelah tepat di tengah. Angka yang sempurna.”

Wow! Terlihat sekali perfeksionisnya. Aku sampai terkagum. Tapi tetap saja dia aneh. Sebegitu detailnya tentang angka nol. Aku tak ingin memiliki sifat sepertinya.

“Bagaimana? Apa kalian sudah mengerti maksud pertanyaanku? Kalian sudah bisa menilai kandidat ketua kalian melalui jawaban mereka,” ujarku dengan suara lantang. Beberapa anggta terlihat berbisik-bisik seperti merundingkan sesuatu. Beberapa yang lain mengangguk-angguk. “Baiklah akan kulanjut dengan pertanyaan kedua.”

Suasana kembali hening hingga suara napasku sendiri terdengar berisik. “Pertanyaan kedua, apa yang akan kalian lakukan kalau kalian menginjak ekor ular?”

Geo dan Teo kembali bertatapan. Ovan memegangi perutnya sambil ngikik dengan suara pelan. Dan ....

“Nah, kan? Apa hubungannya dengan menginjak ekor ular? Ya nanti langsung dipatuk lah,” gugat anak laki-laki yang tadi, Ia masih saja suka ikut campur. Aku sarankan jangan ada yang meniru adegan seperti dia.

Mungkin dia keberatan kalau menginjak ular. Mungkin dia akan lebih senang kalau aku yang menginjak-injaknya. Orang yang tahunya hanya protes tanpa bisa mengutarakan usul memang seharusnya diinjak-injak dan dibakar dalam sekam. Aku mengabaikannya dan menunggu jawaban dari duo GeoTeo.

“Aku tak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini. Aku hanya akan mengandalkan refleksku. Pasti tetap terasa di kaki kan kalau kita sedang menginjak sesuatu yang lembut? Kalau refleksku sedang baik, aku mungkin bisa langsung menghindar sebelum dipatuknya,” jawab Geo. Jawaban yang masuk akal. Dia bisa menganalisis kecepatan pergerakan patukan kepala ular.
Aku suka.
“Kalau aku, aku akan meluncur turun ke kotak yang yang di dalamnya terdapat kepala ular. Maksudmu menginjak ekor ular di sini adalah permainan ular tangga, kan? Jika menginjak ekor ular, berarti turun,” jawab Teo santai.

Apa-apaan orang ini? Dia seperti bisa membaca pikiranku. Analisisnya lebih tajam dari yang kuduga. Aku jadi tak menyukainya. Tak boleh ada yang menyamaiku!

“Nah, kalau kamu, apa yang akan kamu lakukan kalau kau menginjak ekor ular?” Suara itu lagi. Suara dari anak laki-laki yang menyebalkan.

“Akan kupastikan menginjak-injak ularnya hingga hancur luluh seperti bubur bila wajah ularnya mirip denganmu,” jawabku kesal. Sebelum ia meladeniku lebih jauh, aku mengajukan pertanyaan ketiga. “Pertanyaan terakhir.”


BERSAMBUNG

Senin, 22 Juni 2015

Sesuatu akan menjadi rumit bila kau melupakan tujuan awalmu

Remaja atau kawula muda identik dengan segudang kegiatan. Entah itu kegiatan sekolah atau ekstrakurikuler. Kegiatan di luar sekolah seperti kemasyarakatan atau keagamaan. Kegiatan penting dan tidak penting. Sampai kegiatan yang sama sekali tak bermanfaat. Masing-masing menikmati dan menyukai kegiatannya. Sebagai seorang remaja, aku juga salah seorang yang memiliki kegiatan yang tak kalah penting dan bersaing ketat dengan aktivitas remaja lainnya. Kegiatan yang selalu membuatku sibuk, menyita waktu, dan selalu kubanggakan adalah bermain game konsol. Tak peduli apa kata orang. Aku dan game adalah satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan.

Malam ini seharusnya aku bermain game seperti biasa. Duduk santai di depan layar monitor dengan kedua tangan memegang dan menekan tombol-tombol pada joypad. Kalau saja Ovan – tetangga sebelah sekaligus teman bermainku sejak kecil –  tidak datang dan menjemputku ke rumah.

“Ikutlah bersamaku ke mesjid. Ada yang ingin kuperlihatkan padamu,” katanya. Dia adalah salah satu orang yang tak bisa kutolak permintaannya. Salah satu kelemahan terbesarku.

Kami berdua sampai di mesjid tepat saat azan isya selesai. Setelah selesai menunaikan kewajiban, beberapa kelompok muda-mudi tetap tinggal di mesjid. Mereka mulai membentuk kelompok-kelompok kecil dan mengerjakan sesuatu. Sebagian kelompok ada di dalam mesjid, sebagian lagi di luar mesjid.

“Remaja mesjid, ya?” gumamku.

Mereka tidak melakukan kegiatan pengajian atau sejenisnya seperti yang kubayangkan. Mereka seperti sedang mengerjakan hal yang sudah direncanakan. Aku memerhatikan gerak-gerik mereka dengan berdiri sambil bersandar di salah satu dinding mesjid. Beberapa orang yang tak kukenal sesekali melirik ke arahku. Mohon maaf bila kehadiranku di sini sedikit mengganggu kegiatan kalian. Tapi tak perlu melihatku sampai seserius itu. Jika otot mata kalian mengalami nyeri dan luka-luka saat terlalu serius melirikku, tolong jangan kirim surat tuntutan ke rumahku.

“Bagian menariknya, akan segera dimulai,” ujar Ovan yang tiba-tiba datang menghampiriku. Matanya kini tertuju pada dua remaja pria yang sedikit lebih tua dari kami.
Aku mengikuti arah mata Ovan. Kedua remaja pria itu mendatangi sebuah kelompok kecil yang sedang duduk tidak jauh dari tempat kami berdiri. Mereka bertikai dalam kata-kata. Itu yang saat ini bisa kubaca. Yang mereka debatkan adalah seputar lagu religi yang akan dibawakan untuk mengisi acara Isra’ Mi’raj yang akan segera diadakan. Yang satu menyarankan satu lagu, dan yang satu membiarkan kelompok itu memilih lagu yang akan dibawa. Huh. Hal sepele itu seharusnya tak perlu diperdebatkan. Apa saja bisa kau bawakan asalkan lagunya seputar tentang dakwah, kan? Apa mereka berdua itu orang bodoh?

“Ini yang kau maksud?” tanyaku pada Ovan. Dia menganggukkan kepala.

“Tapi, tak hanya itu, saja. Ayo kita lihat adegan selanjutnya.”

Kedua remaja pria itu meninggalkan perdebatannya dan melangkah ke kelompok yang berbeda. Salah satu remaja laki-laki itu memberikan masukan pada suatu kelompok. Berupa usulan menu makanan ringan untuk para undangan. Sepertinya kelompok yang bertugas dalam masalah konsumsi. Lalu yang satunya kembali datang untuk mendebatnya agar membiarkan kelompok itu yang memilih menunya sendiri. Pertikaian kembali. Lalu berakhir lagi tanpa ada keputusan yang jelas. Kelompok yang ditinggalkan itu pun mendengus tanpa bisa berbuat apa-apa. Kemudian salah satu dari mereka berdua mendatangi kelompok yang lain, lalu yang satunya kembali datang, dan kembali membuat perdebatan yang tak penting.

Aku menarik napas panjang dan membuangnya. “Kapan selesainya?”

“Itulah masalahnya,” jawab Ovan dengan cengiran yang memaksa.

“Mana ketuanya? Seharusnya dia yang memutuskan.”

“Itu juga masalahnya,” cengiran Ovan makin tak enak dilihat. “Ketua remaja mesjid ini sudah mengundurkan diri sejak sebulan lalu. Kemudian dua orang yang di sana itu mencalonkan diri sebagai kandidatnya.”

“Ha?” Aku menaruh rasa penasaran. “Lalu?”

“Hasil voting pemilihan berakhir seimbang. Kemudian dilakukan voting kedua, dan hasilnya sama saja. Sepertinya tak ada yang ingin merubah pilihannya.”

Yang patut disalahkan sebenarnya adalah jumlah anggota remaja mesjid kalian. Kenapa harus genap? Jelas saja bisa seimbang. Merepotkan saja.

“Lalu? Kenapa tidak mencalonkan kandidat yang lain saja sebagai ketua?”

“Tak ada yang berminat mencalonkan diri. Hanya mereka berdua yang ikhlas menjadi kandidat.”

Sebaiknya kalian semua juga ikhlas untuk membubarkan remaja mesjid kalian ini. Mereka ini sudah tahu penyebab masalahnya, tapi tak satu pun dari mereka yang ingin melangkah untuk mencari pemecahan masalahnya.

“Bagaimana denganmu? Kenapa tidak kau saja yang mencalonkan diri sebagai ketua?”

Ovan mengulas senyum. Kali ini senyumnya tampak lebih tulus dari yang tadi. “Kalau aku yang jadi ketua, takkan ada yang menarik.”

Manusia bejat! Dia ikut organisasi semacam ini hanya untuk menyaksikan hal-hal yang menarik? Ingatlah, ini organisasi keagamaan. Tempat untuk memperdalam ilmu agama dan menerapkannya dalam kehidupan.

“Lalu? Apa maksudmu memperlihatkanku hal semacam ini?” tanyaku sedikit sewot. Alasannya itu masih membuat pikiranku serasa tak nyaman.

“Ya, apalagi? Masa kau tak menyadarinya sih?”

Orang yang mengajakku ini tak layak disebut manusia. Ia lebih cocok disebut sebagai iblis. Iblis yang memakai kedok manusia untuk melihat sisi-sisi menarik dari manusia. Ia sengaja menarikku ke tempat ini agar aku bisa melakukan sesuatu yang bisa menghiburnya. Dia memang bejat dari hatinya.

“Nggak! Aku menolak. Aku bukan ikan yang mendatangi sebuah kail yang tak memiliki umpan. Aku pulang,” ujarku sambil berniat melangkah keluar dari mesjid.

“Kau yakin nggak mau memainkan ‘game’ ini? Menarik loh. Aku tahu otakmu pasti sudah terstimulasi untuk memecahkan masalah ini. Kau ingin membiarkannya tersimpan dalam otakmu?”

Ovan mulai memprovokasi. Meski aku benci, harus kuakui bahwa perkataannya memang benar. Setelah melihat permasalahan barusan, beberapa bagian di otakku sudah mencari penyelesaian masalah ini tanpa kuperintah. Bila kubiarkan begitu saja, kepalaku bisa sakit sendiri dibuatnya. Apa boleh buat.

“Ovan.”

“Ya?” jawabnya dengan senyuman liciknya itu.

“Setelah aku menyelesaikan persoalan ini. Kau harus membelikanku sebuah kaset game original di toko game langgananku.”

“Ha?!” raut wajahnya berubah. Pori-pori wajahnya seakan membesar untuk mengajukan unjuk rasa. “Ta-tapi harga kaset game original itu kan mahal. Apa tak ada tawaran lain?”

Kau kira aku yang jualan kasetnya? Tawar saja sana pada penjual kasetnya.

“Maaf saja, aku tak suka diperintah seenaknya atau bermain dalam ‘game’ yang sebenarnya bukan aku yang menikmati. Bila kau menginginkan sesuatu, kau harus mau membayarnya. Jangan harapkan sesuatu yang besar tanpa mengorbankan sesuatu.”

Sebenarnya aku tak terlalu yakin dengan yang kukatakan. Memangnya hal besar apa yang bisa kulakukan nanti? Bayangannya saja masih buram di benakku. Hanya saja, aku tak bisa membiarkan Ovan menggunakanku semaunya saja. Ini demi kebanggaan dan harga diriku. Meski kami adalah teman semasa kecil, bila ia bertindak terlalu jauh, aku tak boleh sungkan untuk menginjak-injaknya.

Ovan mendengus. Kemudian menepukkan sebelah tangannya ke atas bahuku. “Baiklah,” jawabnya. “Berikan aku pertunjukan yang menarik.”

*

Inti dari permasalahannya adalah karena perbedaam pendapat atau ketidakcocokan di antara dua kandidat ketua remaja mesjid ini. Keduanya selalu bertentangan. Keduanya seperti ingin menonjolkan keunggulannya masing-masing. Bocah! Mereka berdua bahkan lupa tujuan utama dari acara yang akan mereka selenggarakan.

Ovan mengajakku untuk mendatangi mereka berdua yang masih mendebatkan sesuatu. Masalah dekorasi tempat sepertinya. Memangnya mesjid ini ingin kalian hias seperti apa? Pelaminan pengantin?

“Maaf, Kak Geo, Kak Teo, aku ingin bicara sebentar,” ujar Ovan menengahi.

Geo? Teo? Mereka kembar? Masa? Kenapa wajahnya tak mirip? Yang mana yang Geo? Yang Teo? Apa mereka juga sering mendebatkan nama mereka juga yang hampir mirip ini? Atau mereka sebenarnya tak saling suka karena nama mereka hampir mirip? Atau mereka ingin sekali saling bertukar nama tetapi enggan karena keduanya menyembunyikan perasaannya masing-masing?

“Tunggu, Ovan. Apa kau tak lihat kalau kami sedang membicarakan sesuatu yang penting?” kata seorang yang entah bernama Geo atau Teo. Aku belum tahu yang mana.

“Dan juga jangan membawa orang asing seenaknya di hadapan kami,” kata seorang lagi yang entah bernama Geo atau Teo. Jujur aku bingung. Dan ini sungguh menggangguku.

“Karenanya, dengarkan dulu ucapanku. Aku justru ingin mengenalkan anggota baru. Dia ingin bergabung dengan remaja mesjid kita.”

“Ha?!” aku terperanjak. Tangan Ovan segera membungkam mulut dan kekagetanku. Ini sungguh di luar perkiraan. Aku tak pernah sekalipun berniat untuk bergabung dengan organisasi ini. Dan juga rasa penasaranku akan mana yang Geo dan mana yang Teo ini masih belum terjawab.

“Oh, anggota baru ya? Ya sudah, silakan catat namanya di daftar keanggotaan pada skretaris remaja mesjid,” kata yang seorang yang berkacamata. Dia ini Geo, atau Teo?

“Jangan seenaknya memerintah Ovan. Memangnya kau sudah jadi ketua?” bantah seorang lagi yang memiliki rahang terkesan sangar. Kurasa dia yang Geo. Tapi bisa juga dia yang Teo.

Cukup! Ovan sial ini bahkan tak memberitahuku yang mana Geo dan yang mana Teo sampai sekarang. Terlebih lagi dua nama ini bisa sebegitunya menyita seluruh pikiranku. Apa ketololan itu menular? Bila demikian, aku harus segera menyelesaikan masalah ini dan segera menjauhi mereka berdua. Dan juga sikap kedua orang ini sungguh membuatku muak. Bibirku yang mulai gatal ini tak bisa lagi kubiarkan diam begitu saja. Aku menarik sedikit napas panjang.

“Menjadi ketua remaja mesjid itu sangat sibuk ya? Bahkan menyapa anggota yang baru bergabung saja sulit. Pasti tugasnya berat.”

Kalimat itu tercuat juga dari mulutku. Efeknya langsung terlihat. Kini mata kedua orang itu tertuju padaku sambil tertegun. Raut wajah yang tegang tadi mengendur. Lalu hanyut dalam keheningan sesaat. Setidaknya kumohon, tolong jangan diam saja! Cepat beri tahu aku mana di antara kalian yang bernama Geo dan Teo!

“A-ah, iya, maafkan aku. Aku tak bermaksud begitu. Karena terlalu serius bicara, aku jadi lupa,” balas salah satu di antara mereka dengan alasan. “Lalu, siapa namanya ya?” tanyanya.

Tolong beritahu dulu namamu sebelum kau menanyakan nama seseorang! Kau ini Geo atau Teo! Aku sudah tak sabar dari tadi ingin tahu.

“Aku juga. Aku minta maaf. Iya, anggota baru kan, ya? Namanya siapa ya?” kata yang seorang lagi. Tiba-tiba saja mereka jadi kompak.

Sebutkan namamu! Sial! Aku sungguh penasaran. Tiap sel di otakku kini berteriak-teriak ingin tahu mana yang Geo dan mana yang Teo. Kalian ini sengaja membuatku penasaran hingga tetes susu kental manis terakhir?

Ah, menyabalkan. Sudahlah, sebaiknya aku saja yang cari tahu sendiri.

“Sebenarnya yang bernama Kak Geo yang mana?” tanyaku langsung karena tak ingin lagi berlama-lama menunggu jawabannya.

Seorang yang berahang tegas mengangkat tangannya. Berarti yang berkacamata adalah Teo.
“Namaku Ranka. Aku akan bergabung dengan organisasi remaja ini atas-.”

Sebelah kakiku ditendang kuat oleh Ovan. “Ah, aku lihat ada nyamuk tadi hinggap di betismu. Jadi kutendang saja, hahaha.”

Aku akan ingat dan membalas tendangan ini.

Pada akhirnya misteri ini sudah terpecahkan. Penantian panjang yang penuh uraian air mata dan keringat akan sesuatu yang tak penting dan tak ada manfaatnya terjawab sudah. Aku sudah tahu mana yang Geo dan mana yang Teo.

BERSAMBUNG ....

Part 2 nya menyusul ^_^

Senin, 25 Mei 2015

Pada Akhirnya, Ia Hanya Berpegangan pada Waktu






Matematika, Fisika, Kimia, ketiga PR dari pelajaran ini baru saja kuselesaikan. Kalian tak pernah berpikir kalau aku ini sudah dewasa, kan? Aku adalah seorang pelajar SMA kelas dua yang masih berusia enam belas tahun. Tidak seperti anak pada umumnya, setiap hari Minggu aku malah lebih sering mengerjakan tugas-tugas sekolah daripada bermain di luar. Alasannya adalah karena tak banyak yang kusukai di luar sana. Aku bahkan sama sekali tak menyukai olahraga, karenanya aku tak bisa memainkan olahraga apa pun. Entah apa gunanya kegiatan semacam olahraga itu diciptakan. Sungguh membuang-buang tenaga dan waktu bersantai.

Aku baru saja hendak merapikan buku-bukuku di atas meja belajarku. Sedikit kubenturkan di atas meja untuk sekedar merapikannya. Lalu telingaku menangkap sebuah deritan pada kenop pintu kamarku. Kenop berputar diikuti dengan gerak pintu yang membuka. Dari balik pintu itu, menyembul sesosok wajah yang baru-baru ini menemuiku. Buku-buku yang masih di tanganku itu pun meluncur indah dari genggamanku dengan efek slow motion seiring dengan perubahan raut wajahku. Lepi. Ia muncul berbinar-binar.

Dia masuk tanpa memedulikan aku yang sebenarnya tak suka atas kedatangannya ke kamarku. Dia bahkan tega mengabaikan efek slow motion yang terjadi padaku saat aku melihatnya. Padahal seharusnya, setelah ini aku ingin memainkan kekasihku – game Valkyrie Prifile 2: Silmeria – yang sedang menjalankan misi di Seraphic Gate. Lenneth, Silmeria, dan Alice pasti kecewa kalau aku tak sempat memainkan mereka hari ini.

“Apa lagi sekarang? Kau ini nggak pernah bosan membuat orang lain kerepotan?” tanyaku ketus.

“Nggak, nggak, saat ini aku hanya ingin berbagi kisahku padamu, Ranka,” jawabnya berbunga-bunga.

“Kisah apa? Kisah perjuanganmu melawan kematian namun akhirnya mati juga secara mengenaskan walau sekeras apa pun usahamu untuk berjuang. Kapan itu terjadi? Aku tak sabar menantikannya.”

“Bukan, bukan. Ini kisah bahagia sekaligus penantianku. Kau pasti senang mendengarnya.”
“Hahaha, kau bercanda, Kisanak? Kau cuma hidup sehat tanpa melakukan apa pun saja udah bikin orang sakit hati. Malah kau ingin cerita. Pergi!”

“Ayolah, Ranka. Kau tak perlu malu-malu.” Ia menarik lenganku dengan paksa untuk mengajakku duduk di atas kasurku. Cengkeraman tangannya barusan menyisakan jejak kemerahan di pergelangan tanganku. Ini pertanda ia akan menghabisiku kalau aku tak menuruti permintaannya. Aku tak ingin dengar. Sungguh.

“Begini, ini tentang masalahku kemarin. Aku ingin melanjutkannya.”

Sumpah, aku sama sekali tak ingin tahu. Kemudian Lepi mulai bercerita.

POV Lepi

Kisah ini di mulai saat awal musim semi lalu. Tinas-tunas berdaun hijau muda bergoyang saat angin mengajaknya menari.

Musim semi di bagian mana? Kau yakin sudah memasang otakmu dengan benar?

Suatu hari aku bertemu dengan seorang gadis di sebuah kafe. Sorot matanya tajam, indah, dengan rambut panjang hitam bergelombang. Aku sudah mulai suka saat pandangan pertama. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya hanya untuk sekedar mengamatinya. Namun saat ia berbalik menatapku, aku segera mengalihkan pandangan ke arah lain. Sebenarnya aku masih ingin memendam rasa ini. Hingga akhirnya aku menyerah. Aku tak bisa berbohong bahwa dia selalu mengambil alih pikiranku. Kuputuskan untuk meminta pin bbmnya pada temannya yang sekaligus juga temanku.

Hah? Perkenalan yang klise. Terlalu biasa. Sudah sering di mana-mana. Akan lebih keren bila kau pertama kali bertemu dengannya di area pemakaman umum. Lalu meminta pin bbmnya pada penjaga kuburan yang ada di situ. Kemudian minta comblangin sama tukang gali kubur setempat. Pasti kau akan segera mendapatkan hati gebetanmu itu dan bonus papan nisan cantik berhologram.

Begitulah, kami memulai kedekatan kami melalui sosial media. Detik demi menit, jam demi hari, kami selalu mengisi ulang paket kami tepat waktu agar tak terputus jalinan yang baru saja kami bentuk. Sikapnya tak begitu peduli dan mengabaikanku memang menjadi tantangan terberatku. Berulang kali juga ada bisikan-bisikan halus yang menyuruhku untuk mundur dan menyerah. Hanya saja, kepedulianku terhadapnya seperti membuahkan hasil. Ia mulai peduli padaku.

Namanya Anna.

Suatu ketika, aku dan temannya mengatur sebuah rencana untuk mempererat hubungan tanpa sepengetahuan dia. Dalam sebuah kafe di pinggir jalan, ia terkejut saat ia tahu aku tiba-tiba muncul dan duduk di dekatnya. Suasana pun masih canggung. Smartphone di tangan jadi pelampiasan untuk menghilangkan kecanggungan di antara kami berdua. Aku sedikit tersentak saat tiba-tiba suara beningnya itu terlontar dari bibirnya. Beberapa hal dipertanyakannya. Lambat laun obrolan mengalir menjadi hangat. Sedikitnya aku merasa menyesal. Sebagai seorang laki-laki, seharusnya aku lah yang berusaha mencairkan suasana. Bukan dia.

Lagi-lagi di kafe? Ttakuh! Dasar bocah. Tak punya inisiatif dan ide brilliant. Kalau aku jadi kau, aku akan mengatur tempat pertemuan di sebuah tempat di luar ruangan di bawah malam berbintang. Hanya ada satu meja dan dua kursi berhadapan untuk aku dan dia. Di tengah meja terdapat lampu-lampu hias kecil berbentuk tengkorak. Aku akan mengenakan jas dan menyuruhnya mengenakan baju gamis. Dan saat makanan tersaji, serta obrolan yang semakin romantis. Hujan deras turun.

Tanpa sepengetahuanku, ia berbicara dengan temannya perihal tentangku. Sepertinya ia mulai tertarik dan mencari tahu tentangku. Ini suatu kemajuan yang pesat. Kedekatan kami semakin bertambah. Kami semakin terasa akrab. Banyak hal yang tak penting yang kami bicarakan tapi tetap terasa manis. Hingga suatu kali aku mengajaknya untuk melakukan photo session di sebuah studio foto. Anna setuju walau ia sedikit malu. Ini adalah saat-saat indahku dengannya. Kami bukan lagi seperti dua orang yang sedang kasmaran. Malah lebih tepat disebut dua orang yang akan segera menuju ke pelaminan.

Haha ... foto-foto di studio? Mau perpanjang KTP? Sejujurnya aku rada kesal mendengar ceritanya di bagian ini. Aku berharap remote pemutar dvd dengan tombol fast forward-nya bisa berfungsi pada manusia. Agar Lepi bisa segera menyelesaikan ceritanya secepat kentut meraba hidung.

Selang seminggu kemudian, aku mengajaknya dinner berdua. Sipit – begitu aku memanggilnya – jauh lebih asyik saat ditemui secara langsung daripada hanya sekedar chating lewat sosmed. Kesan cueknya itu masih sering kurasakan. Tekadku yang masih maju-mundur untuk mempertahankannya selalu datang bergantian. Aku tak ingin perjuanganku ini berakhir sia-sia. Pada akhirnya, rasa yang selama ini kupendam kuungkapkan juga.

Ow, aku semakin mengantuk.

Anna memang tak menjawab pengakuanku secara jelas. Akan tetapi, masih ada harapan yang tersembunyi di balik semua perkataannya. Aku masih ingin memperjuangkan rasa ini. Mungkin kedengarannya bodoh ya? Perasaan ini tak mungkin kubiarkan lepas begitu mudahnya. Aku masih ingin terus merasakan perasaan hangat yang mengalir ini di setiap denyut dan aliran darahku. Meski kami belum sepenuhnya bersatu,  bersama waktu, aku akan terus mengikis bendungan yang masih menutup relung hatinya.

Wah, heroik sekali. Persis seperti film yang kemarin kutonton. Judulnya kupinang kau dengan sirup Marjan. Tiba-tiba aku teringat kalau sebentar lagi puasa. Sepertinya aku harus meminta uang saku tambahan dari Ibu demi membeli buku yang berkaitan tentang agama. Aku rada penasaran dengan buku Sejarah Tuhan oleh Karen Armstrong dan The Templar Revelation.

“Jadi gimana ceritaku? Cukup mengharukan, kan? Belum lagi kabarnya dia bakal melanjutkan studi ke luar kota. Ini seperti tantanganku semakin banyak,” ujar Lepi mengakhiri ceritanya. Dan kini sudut pandang cerita beralih lagi padaku.

Tanpa kuperintah, bola mataku memandangi wajah Lepi yang terlihat muram. Memuakkan. Seolah-olah dia yang paling menderita di muka bumi ini. Anda ia tahu penderitaan para jomlo yang tak pernah punya kesempatan mendekati seorang gadis di luar sana.

“Membosankan,” aku mulai berkomentar. “Tak ada yang perlu kukomentari dari ceritamu.  Kau sudah melakukan yang kaubisa. Tugasmu selanjutnya adalah memahami wanita. Perhatian saja tak cukup untuk meluluhkan hati seorang wanita. Yang jadi masalahnya adalah wanita adalah spesies mengerikan yang sulit ditebak. Semakin kau berusaha memahaminya, semakin sulit ia dipahami. Hal itu terserah padamu bagaimana melakukannya. Aku tak ingin ikut campur.”

“Kalau begitu, langkah awal yang harus kulakukan apa?”

Aku bangkit dari dudukku dan langsung menarik tangan Lepi secepatnya. Dengan memanfaatkan kondisinya yang masih bingung itu, aku pun berkata, “Langkah awalnya adalah keluar dari kamarku!” Kutolak tubuhnya dengan kuat hingga ia terlempar ke luar dari kamarku. Secapat itu juga kututup rapat pintu kamar dan menguncinya.

Tak ada kicauan dari Lepi. Syukurlah ia mengerti dan hengkang dari kamarku. Pada dasarnya, manusia memang makhluk tak sabaran yang selalu ingin mendapatkan apa yang ia mau dengan cepat. Terlebih jika menyangkut soal cinta. Beberapa orang menghargai proses dengan cara menikmatinya. Aku menyebut golongan orang-orang ini sebagai pemalas yang tak punya motivasi. Beberapa orang lagi melupakan prosesnya dengan terus-menerus tak menyerah untuk lebih cepat meraihnya. Aku menamakan golongan ini sebagai pemaksa yang memuakkan. Dan aku bukan tipe di antara keduanya. Aku adalah tipe pemalas yang bisa mendapatkan apapun dengan cepat.

Lalu sebenarnya, sejauh apa hubungan manusia dengan cinta itu sendiri? Apakah cinta adalah mainan bagi manusia? Bila demikian, seharusnya cinta itu hanya menghibur dan tak menyakitkan. Ataukah cinta yang memainkan manusia? Bila begitu, artinya manusia tak punya kendali atas cinta. Kedua pertanyaan itu tak perlu dijawab. Cinta adalah perasaan yang mengalir begitu saja tapi jangan biarkan ia mengalir sesuka hatinya. Manusia memegang kendali sepenuhnya. Bila kau tak bisa mengendalikannya, jadilah boneka sampah yang diperbudak oleh cinta.

Kamis, 21 Mei 2015

Saat Keasyikanku Terusik oleh Masalah Asmara

Cinta adalah kebahagiaan sekaligus kesengsaraan. Cinta mendatangkan perasaan senang tapi tak lupa mengajak penderitaan. Keduanya selalu sepaket dan tak bisa dipisahkan. Orang-orang selalu berusaha mendapatkan cinta, karena yang dibenaknya hanyalah kebahagiaan. Mereka kerap sekali lupa bahwa penderitaan selalu membuntuti kebahagiaan itu dari bayangan. Orang-orang akan tersadar bila penderitaan itu sudah menunjukkan dirinya saat kebahagiaan pergi entah ke mana.

Lantas, apakah manusia berhenti sampai di situ? Tidak. Manusia adalah makhluk masokis. Tak peduli berapa kali pun penderitaan itu datang karena cinta, manusia masih terus berusaha mengejarnya.

Tanganku masih saja sibuk menekan-nekan tombol joypad PlayStation-ku. Aku sedang memainkan game Monster Hunter kali ini. Quest yang kuambil adalah membunuh Rathalos dan Rathian – sepasang naga paling buas di game ini. Hanya saja, keasyikanku ini terusik saat layar di tv-ku berubah menjadi hitam.

“Ranka,” sapa seseorang yang tiba-tiba muncul di kamarku, duduk di sebelahku dengan posisi telunjuknya menekan tombol power PlayStation-ku. Wajahnya cengengesan. Aku ingin membunuhnya saat ini juga.

Aku sengaja tak menutup dan mengunci kamarku karena aku yakin semua pintu luar sudah kukunci. Lagipula aku sedang sendirian.

“Dari mana kau masuk?” tanyaku sinis.

“Dari depan,” jawabnya santai.

“Seingatku pintunya terkunci.”

“Aku punya kunci cadangan yang sengaja aku duplikat diam-diam.”

Sepupu laknat. Biadab. Kurang ajar. Berani-beraninya bertingkah seenaknya di hadapanku. Aku menyesal kau bisa terlahir di dunia ini dengan cara normal. Aku lebih suka bila kau dilahirkan seperti membuang kotoran di WC.

“Jadi, apa maumu? Paling-paling kau hanya ingin membagikanku masalah setelah kau membuat masalah denganku.”

“Tepat. Kau tahu saja, Ranka. Kau seperti bisa membaca pikiran saja. Ada yang ingin kukonsultasikan denganmu,” ungkap anak yang bernama Lepi ini.

Lepi adalah sepupuku yang paling pekerja keras. Ia selalu berusaha mendapatkan apa pun tanpa pernah kenal menyerah. Apa pun. Termasuk meminta bantuan dari seseorang. Bila tak dikabulkan, ia akan terus meneror dan menghantui hingga permintaannya dipenuhi. Kalau ia sudah bilang ingin berkonsultasi, aku harus segera mengiyakannya sebelum ia berbuat hal yang macam-macam yang bisa semakin merugikanku. Dia benar-benar pekerja keras yang teramat menyebalkan.

“Apa yang ingin kau konsultasikan? Cepatlah. Aku tak banyak waktu. Sehabis ini aku harus memberi makan ternak,” ucapku berbohong.

“Tenang saja, aku akan membunuh semua ternakmu jadi kau tak perlu pusing memberikan makanan pada mereka.”

Itu dia. Itu dia! Kata-kata pamungkas sang pekerja keras yang bisa memaksamu untuk mengabulkan keinginannya.

“Haaaaah, ya sudah, cepat ceritakan,” dengusku kesal.

Lepi merubah wajahnya menjadi sendu seperti orang frustasi yang ingin diselamatkan. Memuakkan. Rasanya ingin kusiram wajahnya itu dengan minuman pelancar buang air besar.

“Begini, Ranka. Saat ini aku sedang mnyukai seseorang. Dan rasanya sangat sulit untuk kudapatkan. Meski terkadang aku ingin menyerah karena terlalu sakit yang kurasakan, tapi di sisi lain aku ingin terus memperjuangkannya. Aku percaya suatu saat nanti, perasaanku akan tersampaikan padanya. Aku yakin dengan semua ketulusan dan keseriusanku, dia pasti jatuh ke tanganku.”

Oy, sebenarnya dia ini sedang konsultasi atau ceramah? Dia bertanya, tapi dia sendiri sudah punya jawabannya. Apa maksudnya? Apa dia sedang berkonsultasi dengan diri sendiri? Atau dia sedang latihan drama? Atau sedang berkonsultasi dalam drama?

“Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?” lanjutnya.

Aku baru teringat. Tak peduli betapa gigih dan pekerja kerasnya ia terhadap sesuatu, ia selalu lemah dalam urusan percintaan.

“Lakukan saja sesukamu. Aku tak mengerti tentang masalah yang sudah kau pecahkan sendiri,” jawabku ketus.

“Ayolah, Ranka. Aku butuh komentarmu.”

“Oh itu tadi status, ya? Nge-like aja ga bisa? Agak malas rasanya mau kasi komen.”

“Facebook kaleeee, di-like. Serius ini!”

Aku menguap sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalaku. Kata-kata Lepi barusan benar-benar membuatku mengantuk.

“Yang bisa kusimpulkan darimu adalah kau terlalu naif. Kau selalu memandang segala sesuatunya dengan hasil yang sesuai dengan harapanmu. Tulus? Kau tahu arti dari tulus? Tulus yang kupahami secara konteks adalah tak mengharapkan balasan apa-apa. Kau yakin ingin cintamu tak berbalas? Tulus juga berarti siap dengan apapun balasan yang akan kau terima. Kemungkinan terburuknya ia bisa saja tak membalas cintamu. Apa yang akan kau lakukan bila demikian? Apa kau sudah memikirkannya?”

Lepi tak menyahut, bibirnya yang kemerahan setelah menyantap cemilan pedasku yang seenaknya dimakannya itu masih bungkam.

“Perjuangan?” lanjutku. “Seperti apa? Apa kau sedang memaksakan kehendakmu? Atau kau terlalu terburu-buru mengejarnya? Semuanya butuh proses. Kau tak perlu berjuang. Kau hanya butuh cara untuk memikatnya. Untuk cara memikatnya, kau harus pikirkan sendiri sesuai dengan karakter orang yang kausukai. Kau harus pintar membaca hatinya. Sesuatu yang terkesan dipaksakan dan terburu-buru akan membuahkan hasil yang jelek. Bahkan suatu adonan kue sekalipun butuh waktu yang pas untuk memanggangnya agar hasilnya baik.”

“Tapi ...,” Lepi berusaha memberikan tanggapan lain. “Dia menghargai kehadiranku di sisinya. Dia hanya trauma dengan kekasihnya yang dulu. Dia begitu perhatian pada mantan kekasihnya, tapi dia justru dikhianati dan disakiti. Akibatnya, ia sedikit bersikap cuek. Masih takut dengan masa lalu. Tapi bukan berarti ia tak menerimaku.”

Membosankan. Sejujurnya aku ingin segera meninggalkannya. Namun mataku menangkap gerak tangan Lepi yang kini sudah menyentuh tumpukan kaset game-ku. Aku yakin ia akan langsung meremukkan kaset itu bila aku tiba-tiba beranjak dari tempat ini. Sungguh menyebalkan!

“Jika dia menceritakan masa lalunya padamu, kemungkinan ada dua. Dia berharap kau segera menjauhinya, atau dia berharap agar kau bisa membantunya untuk bangkit dari rasa traumanya. Kau harus pastikan dulu yang mana. Bisa kau tanyakan secara tak langsung seperti ‘Hei, aku ingin membantumu lepas dari masa lalu, atau aku ingin membantumu sembuh dari traumamu’. Kira-kira seperti itu. Lalu lihat jawabannya. Setelah itu kau bisa ambil langkah selanjutnya.”

“Begitu, ya? Menarik juga idemu,” ujarnya sambil manggut-manggut.

Aku tak butuh pujianmu. Yang kubutuhkan saat ini segeralah kau puas dan cepat keluar dari kamarku.

“Yang terpenting,” lanjutku. Sial! Bibirku bergerak sendiri lagi tanpa kuperintah. Beginilah kalau aku sudah memberi masukan. “Kau tak perlu merutuki hal yang sudah kauusahakan bila sesuatu yang terjadi tak sesuai dengan harapanmu. Perlu diingat, di dalam cinta ada sepasang rasa yang selalu berdampingan. Rasa senang dan rasa sakit. Entah rasa mana yang akan kau dapatkan nanti, terima saja. Kedua rasa itu akan selalu menemani secara bergantian agar hidupmu tak terasa hambar.”

Sudut bibir Lepi terangkat  sambil meletetakkan kaset-kaset game-ku yang digenggamnya ke tempat semula. Secercah rasa aman menggelayuti. Aku belum bisa merasa lega sepenuhnya sebelum ia benar-benar keluar dari kamarku.

“Aaa ... baiklah. Kucoba saranmu. Masuk akal kok.” Ia mengangkat tubuhnya dan segera melangkah ke arah pintu. Tampak wajahnya sudah sedikit tenang. Hanya wajahnya. Aku tak peduli dengan yang ada di benaknya. “Aku pulang ya, Ranka,” ujarnya lalu hilang dari pandangan.

Itu yang sejak tadi aku tunggu-tunggu. Seharusnya memang kau tak usah datang. Dan juga,” UCAPKAN TERIMA KASIH SEBELUM KAU PULANG, SEPUPU BIADAP!!!”


P.S.


Terima kasih. Semoga puas dengan jawabannya. Kalau belum puas, puas-puaskan aja. Bila ada yang ingin bertanya atau konsultasi, bisa tinggalkan di kolom komentar atau hubungi saya langsung di @nyoosama. Biar nanti saya, err ... Ranka yang menjawabnya lewat rubrik tanya Ranka atau dalam bentuk cerita. Terima Kasih.

Senin, 11 Mei 2015

Aku Harus Segera Mengusirnya dari Rumahku

Ceroboh artinya bunuh diri, kematian, kuburan, dan apa saja yang bermakna sama dengan itu. Penyebab utama kecerobohan biasanya adalah terlalu lalai atau terlalu tergesa-gesa. Yah, tiap manusia biasanya juga tak luput dari perilaku ceroboh tersebut. Akan tetapi, kau tidak boleh membiarkannya terlalu sering terjadi padamu apalagi menjadi kebiasaanmu. Sebagai contoh, saat kau sedang memeriksa kebocoran yang terjadi pada tabung lpg 3 kg milikmu pada malam hari, saat itu pula listrik mati. Karena merasa tergesa-gesa butuh penerangan, tanpa sadar kau meraba sakumu dan mengambil pemantik api yang biasanya kau gunakan untuk merokok. Begitu kau menyalakannya, meninggal.

Mungkin contoh di atas dianggap terlalu membual dan mengada-ada. Persentasa kemungkinan terjadinya bisa di bawah 5%. Akan tetapi, selama hal itu masih masuk akal terjadi, hal itu tetap bisa terjadi. Maka dari itu, mulai detik ini aku akan berusaha lebih fokus dan tenang untuk mengerjakan sesuatu. Demi mencegah terjadinya kecerobohan pada diriku, aku tak boleh terburu-buru dalam hal apa pun. Aku tak boleh terburu-buru berjalan ke sekolah meski hampir terlambat. Tak perlu terburu-buru saat bangun pagi. Tak perlu terburu-buru menyelamatkan orang yang sedang tenggelam. Keselamatan diriku adalah prioritas utama.

Matahari yang sudah agak condong ke barat menyusupkan sinarnya lewat celah daun-daun pohon. Suara sandalku yang setengah terseret terdengar jelas di telinga saat melintas di jalanan sepi ini. Aku memang paling suka melewati jalan kecil ini. Momen untuk menikmati rimbunnya pohon-pohon dan semilir angin yang kadangkala berhembus itu yang sangat kusukai. Dari kejauhan, aku melihat seorang gadis sedang terduduk di pinggir jalan sambil menengadah ke atas. Langkahku mendekat dan kudapati gadis itu adalah kenalanku. Aku tetap melangkah melaluinya tanpa menghiraukannya.

“Tunggu!” suara itu terdengar dari arah belakang. Dari gadis yang duduk itu. Aku tak memberi respon dan tetap berjalan. “Jangan mengabaikanku! Aku bilang tunggu!”

Dengan terpaksa aku menoleh, “Apa?”

Ia bangkit dari posisinya duduk dan melangkah mendekatiku. “Kau tak lihat aku sedang terkapar lesu tak berdaya di pinggir jalan? Kenapa kau tak menawarkan bantuan?”

Dari segi mana kau menyebut dirimu sedang terkapar tak berdaya, hah?

“Maaf, aku menganut prinsip tak memberikan bantuan pada orang lain apapun yang terjadi meski nyawa taruhannya. Permisi,” ucapku berpamitan.

“Hey,” gadis ini menarik bahuku. “Saat ini cuma kau yang ada di sini. Aku butuh pertolongannmu, Ranka. Tolonglah.”

Salahmu sendiri. Kenapa duduk meratap di jalanan sepi seperti ini? Seharusnya kau memilih area yang lebih ramai. Misalnya di area pesta pernikahan. “Baiklah, akan kudengar permintaaanmu.”

Matanya berbinar dan ia mulai bercerita. “Sebenarnya saat ini aku sedang diusir dari rumah. Aku tak punya tempat tinggal sekarang. Jadi, aku ingin minta bantuanmu.”

“Baiklah, aku sudah mendengarnya dan aku harus segera pulang.”

“Hey! Kau tak jadi membantuku?”

“Aku hanya bilang akan kudengar permintaanmu. Bukan bilang membantumu. Sampai jumpa.”

“Tunggu, tunggu. Oh, ayolah Ranka, kumohon. Aku butuh tempat tinggal sementara. Kau sebegitu tak inginnya membantuku, ya?” sorot matanya meredup. Wajahnya murung.

Aku mengangguk dan meninggalkannya. Tak terdengar lagi suara keluar dari bibirnya. Sepertinya ia sudah menyerah. Yang tersisa kini hanya suara sandalku yang setengah kusuret di atas tanah. Dugaanku meleset. Tak berangsur lama ia mengejarku dan merengek-rengek padaku tanpa henti. Apa boleh buat.

Perempuan ini bernama Hesti. Dia teman satu kelasku. Kini ia terduduk sopan di atas sofa di ruang tamuku dengan mimik wajah memelas dibuat-buat.

“Kau bisa tinggal di sini sesukanya semaumu. Tapi aku takkan menyediakan makanan untukmu.”

“Lalu aku makan apa?”

“Apa saja kecuali perabotan di rumah ini.”

“Jahat!” ucapnya dengan nada cemberut. Aku tak menggubrisnya dan segera meninggalkannya menuju arah kamarku.

“Mau ke mana? Kau tak ingin mendengar penyebab kenapa aku sampai diusir dari rumah?”

“Nggak, aku menganut prinsip lain yaitu menghindari hal-hal yang akan membuatku kerepotan nantinya.”

Dengan cepat, Hesti melompat dari sofa dan segera menarik paksa diriku untuk kembali duduk di sofa.  Ia memaksaku untuk mendengarkan ceritanya. Inilah sebabnya aku tak suka membantu orang lain. Waktu berhargaku yang biasa kugunakan untuk bermain game, sirna sudah.

Dengan memasang tampang mengantuk yang sengaja kubuat-buat, aku memerhatikan gerak bibirnya. Katanya ia diusir karena tanpa sengaja memecahkan beberapa buah guci mahal koleksi ibunya karena tergesa-gesa berlari ke luar rumah untuk mengejar abang bakso yang lewat. Sebelumnya juga ia menjatuhkan dompet ibunya yang berisi banyak uang, kartu atm dan surat-surat lain entah di mana. Sebelumnya lagi ia juga menumpahkan pemutih ke atas pakaian bermerk ibunya akibat kecerobohannya. Aku rasa keputusan ibunya adalah hal yang sangat tepat. Tapi itu artinya, kini aku yang bakal terkena dampaknya bila aku tak segera ikut mengusirnya juga.

“Ibuku itu nggak pengertian. Sedari kecil aku memang sering melakukan kesalahan. Tapi aku kan nggak sengaja?” Sambil berkata seperti itu, ia memukul keras permukaan meja dan membuat vas bunga di atasnya jatuh, menggelinding ke arah pinggir. Aku berhasil menangkapnya sebelum jatuh ke lantai.

Hesti tersenyum malu-malu. Pertanda sudah terlihat. Aku harus segera mengenyahkan gadis ini dari rumahku.

“Jadi begitulah, ibuku selalu saja marah-marah. Padahal aku kan nggak sengaja. Bukan mauku kan bertingkah ceroboh seperti itu? Sudah memang bawaanya seperti itu. Dan sore tadi, aku diusirnya. Ibuku memang tak pernah sayang padaku. Ia memang lebih sayang pada barang-barang berharganya saja,” keluh Hesti sedih.

Sekalipun ia memasang tampang sedih dramatis seperti itu. Aku harus tetap konsisten untuk segera mengusirnya dari rumah ini. “Apa kau yakin dengan pikiranmu itu?”

Bola mata Hesti bergerak. Dahinya mengernyit sambil menatap ke arahku. “Maksudmu, Ranka?”

Salah satu sifat dasar manusia adalah tidak suka disalahkan. Sebesar apa pun kesalahan yang kau perbuat, otakmu akan merespon cepat untuk mencari-cari alasan agar kau bisa menepis kesalahan yang ditujukan padamu.

“Daripada terus menyalahkan ibumu dan keadaanmu, kenapa kau tak berusaha untuk mengubah perilaku cerobohmu itu? Mengharapkan pengertian ibumu saja takkan mengubah keadaan. Tidak hanya ibumu, bahkan orang lain pun bisa merasa resah karena tingkahmu.”

Wajah Hesti kembali cemberut. “Kau tak mengerti, Ranka. Aku sudah berusaha mencoba untuk merubahnya. Aku memang sudah ditakdirkan seperti ini.”

Alasan itu menguap seketika dari bibirnya begitu aku membalikkan kesalahan padanya. Kini ia menyalahkan takdir. Otak memang tak sepatutnya disalahkan. Keinginannya yang begitu kuat untuk tak mau disalahkan itu yang memaksa otaknya untuk mencari alasan. Aku juga tak menampik bila aku sering melakukan hal yang sama. Tapi, bila berhubungan dengan otak, aku takkan kalah. Secepatnya aku harus membuatnya pergi dari rumahku!

“Takdir? Setelah itu, siapa dan apa lagi yang akan kau salahkan?"

"Bukan begitu. Aku tak pernah berhasil. Mau cara apa pun yang kulakukan, pada akhirnya hanya menciptakan kecerobohan yang lain."

"Bukan tak berhasil. Tapi kau yang terlalu menganggap ringan masalahmu," kutepis alasannya itu dengan cepat. "Apa kau sudah mencobanya dengan sungguh-sungguh? Apa kau pernah sedikitnya merasa sangat bersalah dan merenungkan kecerobohanmu? Aku yakin kau hanya berpikiran 'ah, sudahlah, namanya tak sengaja' begitu, kan?”

Hesti hening. Kepalanya menunduk dan terpaku beberapa saat.

“Aku benar, kan? Kau hanya mengabaikannya, dan menganggapnya suatu kebiasaanmu sedari kecil. Tak ada rasa penyesalan dan terus mengulangi kesalahanmu itu sebagai bagian dari kehidupanmu.”

Aku meletakkan kembali vas bunga yang ada di genggamanku ke atas meja. Karena begitu terobsesinya untuk segera mengusir perempuan dari rumah ini, aku sampai tak sadar terus menggenggam vas bunga yang dibeli ibuku saat diskon ini.

“Temukan sumber utama penyebab kecerobohanmu. Kau takkan bisa memulai apa pun kalau kau sendiri tak mengerti masalahmu. Sekarang pulanglah. Aku yakin ibumu saat ini sedang merasa menyesal. Biar bagaimanapun, kau adalah darah dagingnya.”


Hesti mengangkat tubuhnya dari posisinya duduk. Kakinya mulai melangkah menuju pintu keluar dari rumahku tanpa mengatakan apa pun. Sesaat sebelum dirinya benar-benar meninggalkan rumahku, ia menoleh dan mengucapkan beberapa kata sejenis terima kasih sambil menjulurkan lidahnya. Tenang saja, aku sama sekali tak berniat membantumu. Aku hanya ingin kau segera pergi dari rumahku. 

Tanpa menunggu lebih lama lagi, tanganku mendorong daun pintu rumahku dengan cepat. Misi pengusiran secara halus berhasil tanpa mengalami hambatan. Aku menang!