Kamis, 02 Juli 2015

Sesuatu akan menjadi rumit bila kau melupakan tujuan awalmu Bagian 2

“Lalu gimana? Kau sudah tahu cara untuk menyelesaikan masalah ini?” Ovan kembali bertanya seusai aku berkenalan dengan kedua kandidat itu.

Kami kembali menepi di dinding mesjid dalam posisi berdiri. Punggungku kusandarkan pada dinding dan kedua tanganku kulipat di bawah dada. Mengingat ini adalah permasalah yang sebenarnya tak begitu penting, aku punya firasat yang mengatakan bahwa masalah ini tak bisa diselesaikan dengan mudah. Menangani dua orang bodoh itu lebih sulit daripada memberi makan kucing.

“Sebelum aku menyelesaikan masalah ini-,”

“Van, bantuin kita dong. Kamu dari tadi berdiri terus gak ngapa-ngapain,” protes seorang anggota remaja laki-laki yang tiba-tiba memutus pembicaraanku.

“Ah, maaf. Tunggu sebentar ya? Sedang ada urusan penting. Pasti kubantu deh,” balas Ovan dengan ekspresi manisnya yang menjengkelkan.

Anak laki-laki itu mengangguk, lantas menarik diri.

“Aku ada di bagian humas. Sedang mensortir data gitu. Eh, tadi kau mau bilang apa?” lanjut Ovan.

Aku membuang napas lega. Dengan seribu wajahnya ini, Ovan memang cocok berada dalam bagian humas. Dan jangan pernah biarkan ia berada pada bagian keuangan. “Begini,” lanjutku. “Sebelum menyelesaikan masalah ini, aku ingin tahu karakteristik pribadi GeoTeo ini sedikit,” pintaku pada Ovan.

Ovan mengernyitkan alis sambil menegadahkan kepalanya ke atas. Sebelah tangannya ikut memegang dagunya yang kuyakin tanpa dimintanya.

“Kak Geo itu pribadi yang tegas, cepat mengambil keputusan, sangat mempercayai anggota. Selalu menerima usul anggota dengan senang hati. Cukup pantas kok jadi kandidat ketua,” papar Ovan.

“Itu tipikal orang ceroboh, tak panjang akal, tak bisa berpikir dengan baik, dan naif. Yah, sesuai sih dengan tampangnya yang agak sangar itu,” tanggapku.

Ovan sumringah. “Kau ini,” ujarnya sambil tertawa kecil sambil memegangi perutnya. “Nah, kalau Kak Teo itu perfeksionis. Dia ingin segalanya sesuai dengan apa yang dikatakannya. Dia bisa membimbing dan mengarahkan anggota dengan baik. Ide-idenya juga keren. Dia cukup layak menjadi kandidat.”

“Tipikal egois, ambisius, tirani, calon diktator, dan berbahaya, punya banyak maksud tersembunyi, tidak cocok bekerja dalam tim. Yah, walau aku pun tak membenci karakter seperti ini,” tanggapku lagi. Dan Ovan makin meringkuk menahan tawa.
Hal ini tak pantas untuk ditertawakan. Keterangan yang dipaparkan oleh Ovan barusan sudah membuatku berpikir dengan cepat. Aku sudah tahu mana yang lebih pantas menjadi ketua. Tapi keputusan sepihak tak bisa dilakukan dalam masalah ini. Oleh karenanya, tak perlu lagi berpanjang lebar. Aku hanya cukup mengajak mereka berdua mengobrol dan keduanya akan bertekuk lutut, maksudku keduanya akan membuka mata mereka.

“Ovan, pinjamkan telingamu.”

Aku berbisik pada Ovan agar ia melakukan sesuatu. Ovan mengerti dan segera mengambil tindakan. Mikrofon yang terletak di mimbar khotbah dipakainya untuk mengumpulkan semua anggota remaja mesjid ke dalam mesjid. Tak butuh waktu yang lama, semua anggota meninggalkan kegiatan kelompoknya dan masuk ke dalam. Duduk membentuk lingkaran dengan memposisikan Ovan dan kedua kandidat di tengah. Aku ditinggal dan dibelakangi.

“Kita akan selesaikan masalah perdebatan kandidat ketua ini sekarang,” ujar Ovan langsung pada topik. “Ranka, kemarilah.”

Ucapan Ovan menarikku untuk masuk ke dalam lingkaran kerumunan dan aku mengambil posisi di tengah. Kini di tengah ada aku, Ovan, dan kedua kandidat GeoTeo dalam posisi berdiri. Tentu saja yang menjadi pusat perhatian adalah aku. Orang asing yang tiba-tiba saja ikut nimbrung.

Tanpa berbasa-basi dan memperkenalkan diri, aku langsung saja memulai tugasku. “Aku akan memberikan beberapa pertanyaan pada kedua kandidat. Saat kedua kandidat menjawab, semua anggota di sini harus menilainya. Dengan begitu, saat pemilihan berikutnya, kalian bisa memilih sesuai dengan pemikiran kalian sendiri.”

Keadaan hening berubah menjadi bisik-bisik antara anggota. Mungkin cara ini terkesan seperti pemilihan presiden. Akan tetapi hal ini akan membuahkan hasil yang lebih akurat.

“Tunggu!” seorang anak cowok tiba-tiba angkat bicara. “Sebelumnya aku ingin tahu. Kamu ini siapa? Kenapa tiba-tiba datang dan seolah mengambil alih kepemimpinan?” protesnya.

Aku juga tak tahu siapa kau. Tiba-tiba mengambil alih pusat perhatian dariku. Kau ingin mengganggu pekerjaanku? Kau ingin kuhancurkan sekarang juga?

“Aku hanya tamu di sini, aku di-.”

“Dia anggota yang baru saja bergabung. Namanya Ranka Cerebrio. Umur enam belas tahun. Unyu dan menggemaskan. Kalau mau perkenalan lebih lanjut, nanti setelah sesi ini ya?” potong Ovan dengan panjang lebar. Lagi pula siapa yang dikatakannya menggemaskan? Aku kira banyak orang di luar sana yang menganggapku sadis.

“Lalu, kenapa dia yang memimpin perundingan ini? Dia kan masih baru?” protes anak laki-laki yang tak diketahui ini. Dia memang sengaja cari gara-gara.

“Kau boleh protes kalau kau bisa melakukan sesuatu untuk mengakhiri perdebatan kandidat ketua remaja mesjid ini. Kalau kau tak bisa melakukan apa-apa, sebaiknya diam saja dan lihat bagaimana aku melakukannya,” balasku dingin.

Anak laki-laki itu diam. Dan semua anggota lain ikut diam. Syukurlah, perundingan ini bisa segera dilanjutkan.

“Kita akan mulai. Kalian hanya perlu menjawab, tak boleh ada yang protes. Pertanyaan untuk kalian berdua sama. Silakan jawab bergantian.”

Tak ada sahutan hanya ada anggukan. Pertanyaan yang akan kuberikan sampai sekarang belum terbesit di benakku. Tanganku memegangi daguku sambil menatap kedua kandidat dengan santai.

“Pertanyaan pertama, dari angka nol sampai sembilan, angka mana yang paling kalian sukai? Berikan alasannya!”

Geo dan Teo bertatap-tatapan tak mengerti. Ovan yang juga merasa pertanyaanku aneh, segera menoelku dan berbisik padaku.

“Apa maksudnya? Pertanyaanmu nggak nyambung!” suara anak laki-laki yang tadi sempat menggangguku terdengar lagi. Dia masih di sini? Kukira dia sudah bunuh diri setelah kukatai tadi. Cih! Selalu saja ada satu orang menyebalkan di mana pun kau berada.

“Aku sudah bilang tak boleh ada yang protes, kan? Apa kau tadi tak mendengarkan ucapanku?” tanggapku setengah kesal sambil menatapnya rendah. Karena posisiku yang sedang berdiri dan dia yang sedang duduk.

“Gimana nggak protes? Ini kan penentuan kandidat ketua remaja mesjid, yang behubungan dengan kegiatan dong. Masa angka-angka? Kau ini-.”

“Aku tak bertanya padamu. Aku bertanya pada kedua kandidat,” potongku cepat. “Silakan jawab dan beri alasan kalian. Kita tak butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan masalah ini.”

Baik Geo maupun Teo terlihat setuju. “Baiklah, biar aku duluan yang menjawab. Meski nggak tahu apa maksudnya,” ujar Geo sambil memegangi kepalanya.

Dengan wajahnya yang masih terlihat kebingungan, matanya mencari-cari sesuatu di sekitar langit-langit. Percayalah tak ada angka di sana.

“Hem ... apa ya? Hmm ...,” gumamnya lagi. “Satu. Sepertinya angka satu yang ada di benakku saat ini,” jawab Geo.

Satu orang lagi yang tak mendengar perkataanku dengan baik. Dia tak memberikan alasannya. Aku paling benci mengulang kembali pertanyaan yang kuberikan. Dengan wajah kesal yang kupendam, aku kembali menegaskan. “Alasannya?”

“Hmm ... karena angka 1 itu menunjukkan yang pertama. Spesial gitu. Angka pemenang. Kira-kira begitu.”

Sudah kuduga. Dia memang orang yang berpikiran sederhana. Alasannya itu sungguh amatiran.

“Kalau aku,” sambung Teo cepat. “Aku suka dengan angka nol. Nol menunjukkan kehampaan atau kekosongan. Hanya hal-hal yang kosong yang bisa diisi dengan sesuatu, kan? Nol juga menunjukkan permulaan. Angka yang indah untuk memulai suatu kegiatan. Nol juga memiliki bentuk yang simetris apabila dibelah tepat di tengah. Angka yang sempurna.”

Wow! Terlihat sekali perfeksionisnya. Aku sampai terkagum. Tapi tetap saja dia aneh. Sebegitu detailnya tentang angka nol. Aku tak ingin memiliki sifat sepertinya.

“Bagaimana? Apa kalian sudah mengerti maksud pertanyaanku? Kalian sudah bisa menilai kandidat ketua kalian melalui jawaban mereka,” ujarku dengan suara lantang. Beberapa anggta terlihat berbisik-bisik seperti merundingkan sesuatu. Beberapa yang lain mengangguk-angguk. “Baiklah akan kulanjut dengan pertanyaan kedua.”

Suasana kembali hening hingga suara napasku sendiri terdengar berisik. “Pertanyaan kedua, apa yang akan kalian lakukan kalau kalian menginjak ekor ular?”

Geo dan Teo kembali bertatapan. Ovan memegangi perutnya sambil ngikik dengan suara pelan. Dan ....

“Nah, kan? Apa hubungannya dengan menginjak ekor ular? Ya nanti langsung dipatuk lah,” gugat anak laki-laki yang tadi, Ia masih saja suka ikut campur. Aku sarankan jangan ada yang meniru adegan seperti dia.

Mungkin dia keberatan kalau menginjak ular. Mungkin dia akan lebih senang kalau aku yang menginjak-injaknya. Orang yang tahunya hanya protes tanpa bisa mengutarakan usul memang seharusnya diinjak-injak dan dibakar dalam sekam. Aku mengabaikannya dan menunggu jawaban dari duo GeoTeo.

“Aku tak bisa berbuat apa-apa dalam hal ini. Aku hanya akan mengandalkan refleksku. Pasti tetap terasa di kaki kan kalau kita sedang menginjak sesuatu yang lembut? Kalau refleksku sedang baik, aku mungkin bisa langsung menghindar sebelum dipatuknya,” jawab Geo. Jawaban yang masuk akal. Dia bisa menganalisis kecepatan pergerakan patukan kepala ular.
Aku suka.
“Kalau aku, aku akan meluncur turun ke kotak yang yang di dalamnya terdapat kepala ular. Maksudmu menginjak ekor ular di sini adalah permainan ular tangga, kan? Jika menginjak ekor ular, berarti turun,” jawab Teo santai.

Apa-apaan orang ini? Dia seperti bisa membaca pikiranku. Analisisnya lebih tajam dari yang kuduga. Aku jadi tak menyukainya. Tak boleh ada yang menyamaiku!

“Nah, kalau kamu, apa yang akan kamu lakukan kalau kau menginjak ekor ular?” Suara itu lagi. Suara dari anak laki-laki yang menyebalkan.

“Akan kupastikan menginjak-injak ularnya hingga hancur luluh seperti bubur bila wajah ularnya mirip denganmu,” jawabku kesal. Sebelum ia meladeniku lebih jauh, aku mengajukan pertanyaan ketiga. “Pertanyaan terakhir.”


BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar